Jumat, 17 September 2010

AL-MA'TSUROT HASAN AL-BANA

AL-MA'TSUROT HASAN AL-BANA
Oleh
Ustadz Abu Ahmad

Kitab Al-Ma'tsurot oleh Hasan Al-Banna adalah kitab yang sangat populer di kalangan
kaum muslimin di seluruh dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Bahkan wirid-wirid yang
terkandung di dalamnya dijadikan sebagai amalan harian wajib bagi para pengikut
kelompok Ikhwanul Muslimin dan kebanyakan para aktivis pergerakan Islam di
Indonesia.
Beberapa bulan yang lalu telah masuk kepada kami pertanyaan dari sebagian pembaca tentang kitab Al-Ma'tsurot ini, apakah kitab ini layak untuk diamalkan kandungannya, karena banyak dari kaum muslimin di daerahnya yang mengamalkan wirid-wirid dalam kitab ini.
Maka dengan memohon pertolongan kepada Alloh dalam pembahasan kali ini akan kami
paparkan studi kelayakan kitab Al-Ma'tsurot ini untuk dipakai dan diamalkan
kandungannya.
PENULIS KITAB "AL-MA'TSUROT"
Penulisnya adalah Syaikh Hasan bin Ahmad bin Abdurrohman Al-Banna, pendiri jama'ah
Ikhwanul Muslimin. Ia dilahirkan pada tahun 1906 M di Mahmudiyyah Buhairah Mesir,
dan meninggal di Kairo Mesir tanggal12 Februari 1949 M.
Hasan Al-Banna adalah pengikut tarikat shufiyyah Hashshofiyyah sejak usia muda. Dia
mengenal tarikat Hashshofiyyah semenjak duduk di Madrasah Mu'allimin UIa di
Damanhur. Dia kemudian berbai'at di hadapan Mursyid Tarikat Hashshofiyyah, Syaikh
Abdul Wahhab Al-Hashshofi, dan kemudian aktif dalam kepengurusan Jam'iyyah
Hashshofiyyah Al-Khoiriyyah.
Semasa hidupnya, Hasan Al-Banna selalu mengamalkan ritual-ritual tarikat
Hashshofiyyah tersebut seperti Wadhifah (wirid) Rozuqiyyah tiap pagi dan petang.
Nampaknya Wadhifah Rozuqiyyah ini adalah asal dari Wadhifah Kubro (nama lain dari
Al-Ma'tsurot sebagaimana tertera dalam judul cetakannya).
Hasan Al-Banna tidak hanya mengamalkan Wadhifah Rozuqiyyah saja, bahkan dia juga
mengikuti ritual Hashshofiyyah di kuburan-kuburan dengan cara menghadap kepada
sebuah kuburan yang terbuka dengan tujuan untuk mengingat kematian, kemudian ritual
Hadhroh setelah sholat Jum'at, dan ritual Maulid Nabi.
Abul Hasan An-Nadwi berkata: "Hasan Al-Banna selalu mengamalkan wirid-wirid dan
ritual-ritual ini hingga akhir hayatnya." (Tafsir Siyasi lil Islam hal. 83).
Adapun dalam segi aqidahnya, Hasan Al-Banna adalah Asy'ari Mufawwidhoh
sebagaimana nampak dalam kitabnya, Aqo'id. (Lihat Mudzakkirot Da'wah wa Da'iyyah
Nazhorot fi Manhaj Ikhwanul Muslimin dan Thoriqoh Hasan Al-Hanna wa Ashumul
Waritsin )
WIRID-WIRID 'AL-MA'TSUROT" YANG LEMAH ATAU TIDAK ADA ASALNYA
Tidak diragukan lagi bahwa dzikir dan do'a termasuk di antara ibadah-ibadah yang paling
utama. Sedangkan ibadah wajib dilandaskan atas dalil yang tsabit (kuat) dan tidak boleh
menetapkan suatu ibadah tanpa dalil atau dengan dalil yang dho'if (lemah). Maka tidak
boleh seorang muslim mengamalkan suatu dzikir tertentu kecuali setelah meyakini bahwa
dzikir tersebut dinukil dengan dalil yang tsabit dari Al-Qur'an dan as-Sunnah (Lihat
bahasan Hadits Dho'if Dalam Fadho'il A'mal dalam Majalah Al-Furqon Edisi Spesial
Ramadhan-Syawwal Tahun 6).
Setelah kami meneliti do'a-do'a dan dzikir-dzikir dalam kitab Al-Ma'tsurot ini ternyata ada beberapa dzikir yang lemah dalilnya atau bahkan tidak ada asalnya sama sekali, di antara do'a-doa dan dzikir-dzikir tersebut ialah:
[1]. Wirid Pertama.
"Ashbahnaa wa asbaha al-mulku lillahi laa syariikalahu wa alhamdu kulluhu lillahi laa
syarikalahu laa ilaha illa allahu wa ilaihi an-nusyuur"
"Artinya : Sesungguhnya kami terjaga di pagi hari dengan (kesadaran bahwa) / kerajaan (bumi dan segala isinya) ini seluruhnya adalah milik Alloh. Dan segala puji bagi Alloh, tiada sekutu bagi-Nya, tiada Robb selain Dia dan kepada-Nya kami akan dibangkitkan."
Wirid ini datang dalam hadits Abu Huroiroh Radhiyallahu'anhu yang diriwayatkan oleh
Bukhori dalam Adabul Mufrod 1/211 no. 604 dan, Ibnu Sunni dalam Amal Yaum wa
Lailah hal. 74 dari jalan Abu Awanah dari Umar bin Abi Salamah dari bapaknya dari Abu
Huroiroh Radhiyallahu'anhu.
Riwayat ini dikatakan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullahu : "Dho'if dengan lafazh ini,
di dalam sanadnya terdapat Umar bin Abi Salamah Az-Zuhri Al-Qodhi, fihi dho'fun
(padanya terdapat kelemahan)," ( Dho'if Adabul Mutrod hal. 60)
[2]. Wirid Kedua
"Allahumma ma ashbaha bii min ni'mati faminka wahdaka laa syariika laka falaka
alhamdu walaka asy-sukru"
"Artinya : Ya Alloh nikmat apapun yang kuperoleh dan diperoleh seseorang di antara
makhluk-Mu adalah dari-Mu, yang Esa dan tak bersekutu, maka bagi-Mu segala puji dan
syukur."
Wirid ini terdapat dalam hadits Abdulloh bin Ghonam Al-Bayadhi yang diriwayatkan
oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya 4/318, Ibnu Hibban dalam Shohih-nya 3/143, Nasa'i
dalam Sunan Kubro 6/5, Abu Bakar Asy-Syaibani dalam Ahad wal Matsani 4/183, dan
Baihaqi dalam Syu'abul Iman 4/89 dari jalan Rabi'ah bin Abi Abdirrohman dari Abdulloh
bin Anbasah dari Abdulloh bin Ghonam Al-Bayadhi
Abdulloh bin Anbasah dikatakan oleh Adz-Dzahabi rahimahullahu : hampir-hampir tidak
dikenal)."
Riwayat ini dilemahkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Takhrij Kalimu Thoyyib hal. 73
dan Dho'if Jami' Shoghir: 5730.
[3]. Wirid Ketiga.
"Yaa rabbi laka alhamdu kamaa yanbagii lijalaali wajhika wali'adhiimi sulthoonika"
Wirid ini terdapat dalam hadits Abdulloh bin Umar Radhiyallahu'anhu yang diriwayatkan
oleh Ibnu Majah dalam Sunan-nya 2/1249, Thobroni dalam Mu'jam Ausath 9/101 dan
Mu'jam Kabir 12/343, dan Baihaqi dalam Syu'abul Iman 4/94 dari jalan Shodaqoh bin
Basyir dari Qudamah bin Ibrohim Al-Jumahi dari Abdulloh bin Umar Radhiyallahu'anhu.
AI-Bushiri rahimahullahu berkata: "Sanad ini, terdapat kritikan padanya." (Mishbahu
Zujajah 4/130)
Shodaqoh bin Basyir dikatakan oleh Ibnu Hajar rahimahullahu dalam Taqrib: "Maqbul
(yaitu diterima haditsnya jika ada penguatnya, kalau tidak ada penguatnya maka
haditsnya lemah)."
Qudamah bin Ibrohim dikatakan oleh Ibnu Hajar rahimahullahu dalam Taqrib: "Maqbul."
Riwayat ini dilemahkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Dho'if Sunan Ibnu Majah hal. 308
dan Dho'if Jami' Shoghir: 1877.
[4]. Wirid Keempat
"Allahumma sholli 'alaa muhammadin 'abdika wanabiyyika warosuulika an-nabiyyi al-
ummii wa 'alaa aalihi washohbihi wasallim tatsliimaa 'adada ma ahaatho bihi 'ilmuka
wakhoththo bihi qolamuka wa ahshoohu kitaabuka…"
"Artinya : Ya Alloh limpahkanlah sholawat atas junjungan kami Muhammad hamba-Mu, nabi-Mu, dan rosul-Mu, nabi yang ummi, dan atas keluarganya; dan limpahkanlah salam sebanyak yang diliput oleh ilmu-Mu dan dituliskan oleh pena-Mu, dan dirangkum oleh kitab-Mu "
Sholawat ini adalah sholawat yang bid'ah yang tidak ada asalnya, tidak ada di dalam
kitab-kitab hadits yang mu'tabar sepanjang penelitian kami.
Wirid-wirid di atas (1 s/d 4) adalah yang lemah atau tidak ada asalnya. Di samping itu, di dalam kitab Al-Ma'tsurot ini banyak wirid-wirid lain yang shohih lafazhnya tetapi bid'ah dari segi kaifiyyat (tatacara)nya karena memberikan bilangan bacaan-bacaannya yang tidak pernah ada tuntunannya dari Rosululloh Shollallahu 'alaihi wa sallam .
DO'A ROBITHOH" YANG BID'AH
Pada akhir kitab Al-Ma'tsurot ini tercantum Do'a Robithoh yang berbunyi
"Allahumma innaka ta'lamu anna hadihi al-quluuba qodijtama'at 'alaa mahabbatika waltaqot 'alaa thoo 'atika watawahhadat 'alaa da'watika wa ta'aahadat 'alaa nushroti syarii'atika fawassiq allahumma roobithhaa wa adim wuddahaa"
"Artinya : Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui bahwa hati-hati ini telah
berkumpul untuk mencurahkan mahabbah (kecintaan) hanya kepada-Mu, bertemu untuk
taat kepada-Mu, bersatu dalam rangka menyeru di (jalan)-Mu, dan berjanji selia untuk
membela syari'at-Mu, maka kuatkanlah ikatan pertaliannya Ya Alloh, abadikan kasih
sayangnya…"
Syaikh Ihsan bin Ayisy Al-Utaibi rahimahullahu berkata: "Di akhir Al-Ma'tsurot terdapat
wirid robithoh, ini adalah bid'ah shufiyyah yang diambil oleh Hasan Al-Banna dari
tarikatnya, Hashshofiyyah." .(Kitab TarbiyatuI Aulad fil Islam Ii Abdulloh Ulwan fi
Mizani Naqd Ilmi hal. 126)
HUKUM WIRID-WIRID BID'AH
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu berkata: "Tidak diragukan lagi bahwa
dzikir dan do'a termasuk di antara ibadah-ibadah yang paling afdhol (utama), dan ibadah
dilandaskan alas tauqif dan ittiba', bukan atas hawa nafsu dan ibtida ', Maka do'a-do'a dan
dzikir-dzikir Nabi Shollallahu 'alaihi wa sallam adalah yang paling utarna untuk
diamalkan oleh seorang yang hendak berdzikir dan berdo'a. Orang yang mengamalkan
do'a-do'a dan dzikir-dzikir Nabi Shollallahu 'alaihi wa sallam adalah orang yang berada di
jalan yang aman dan selamat. Faedah dari hasil yang didapatkan dari mengamalkan do'a-
do'a dan dzikir-dzikir Nabi Shollallahu 'Alaihi wa sallam begitu banyak sehingga tidak
bisa diungkapkan dengan kata-kata, Adapun dzikir-dzikir dari selain Nabi Shollallahu
'alaihi wa sallam , kadang-kadang diharomkan, kadang-kadang makruh, dan kadang-
kadang di dalamnya terdapat kesyirikan yang kebanyakan orang tidak mengetahuinya.
Tidak diperkenankan bagi seorang pun membuat bagi manusia dzikir-dzikir dan do'a-do'a
yang tidak disunnahkan, serta menjadikan dzikir-dzikir tersebut sebagi ibadah rutin
seperti sholat lima waktu, bahkan ini termasuk agama bid'ah yang tidak diizinkan oleh
Allah. Adapun menjadikan wirid yang tidak syar'I maka ini adalah hal yang terlarang,
bersamaan dengan ini dzikir-dzikir dan wirid-wirid yang syar'I sudah memenuhi puncak
dan akhir dari tujuan yang mulia, tidak ada seorang pun yang berpaling dari dzikir-dzikir
dan wirid-wirid yang syar'i menuju kepada dzikir-dzikir dan wirid-wirid yang bid'ah
melainkan (dialah) seorang yang jahil atau sembrono atau melampaui batas." (Majmu'
Fatawa 22/510-511).
Beliau juga berkata: "Seseorang yang berpaling dari do'a yang syar'i kepada yang lainnya
-walaupun itu adalah hizb-hizb- (wirid-wirid) sebagian masyayikh (para syaikh)- maka
yang paling bagus baginya adalah hendaknya tidak meluputkan bagi dirinya do'a yang
lebih afdhol dan yang lebih sempurna, yaitu do'a-do'a Nabi Shollallahu 'alaihi wa sallam,
karena dia yang lebih afdhol dan lebih sempurna dari do'a-do'a yang lainnya dengan
kesepakatan kaum muslimin, meskipun do'a-do'a yang lain tersebut diucapkan oleh
sebagian masyayikh, apalagi jika do'a-do'a tersebut di dalamnya terdapat kesalahan atau
dosa atau yang lainnya?
Di antara orang-orang yang paling tercela adalah orang yang menjadikan hizb (wirid)
yang tidak ma'tsur (dinukil) dari Nabi Shollallahu 'alaihi wa sallam -walaupun itu adalah
hizb-hizb sebagian masyayikh dan meninggalkan hizb-hizb Nabawiyyah yang diucapkan
oleh Penghulu Bani Adam, Imam para makhluk, dan hujjah Alloh atas para hamba-Nya,"
(Majmu'Fatawa 22/525)
BADAL (PENGGANTI) KITAB INI
Setelah melihat banyaknya hal-hal yang bid'ah dalam kitab Al-Ma'tsurot ini, kami
memandang bahwa kitab ini tidak layak dijadikan pegangan di dalam wirid-wirid
keseharian seorang muslim. Kami menganjurkan agar saudara-saudaraku kaum muslimin
memilih kitab-kitab dzikir lainnya yang mengacu kepada do'a dan dzikir yang shohih dari
Nabi Shollallahu 'alaihi wa sallam, di antara kitab-kitab yang kami anjurkan untuk
dipakai adalah:
[1]. AI-Adzkar oleh AI-Imam, An-Nawawi bersama penjelasan derajat haditsnya dalam
kitab Shohih wa Dho'if AI-Adzkar oleh Syaikh Salim bin Id Al-Hilali.
[2]. Al-Kalimu Thoyyib oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dengan takhrij Syaikh Al-
Albani.
[3]. Tuhfatul Akhyar oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz.
[4]. Shohih Kalimu Thoyyib oleh Syaikh Al-Albani.
[5]. Hishnul Muslim oleh Syaikh Sa'id bin Ali bin Wahf Al-Qohthoni, telah
diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia.
[Disalin dari Majalah Al-Furqon Edisi 06 Tahun VI/Robi'ul Awwal 1428H [Februari 2007], Diterbitkan Lajnah Dakwah Ma'had Al-Furqon, Alamat Maktabah Ma'had Al- Furqon, Srowo Sidayu Gresik Jatim 61153]

Hukum Membaca Al-Ma'tsurat

Hukum Membaca Al-Ma'tsurat
Senin, 20/04/2009 12:03 WIB | email | print | share

Assalamu alaikum wr.wb

Pak Ustads kami mau menanyakan tentang membaca Al-Matsurat oleh hasan Al Banna berdasarkan hukum islam dan siapakah sebenarnya Hasal Al Banna ini?

terima kasih Pak Ustads

Jawaban

Waalaikumussalam Wr Wb

Hukum Membaca Al Ma’tsurat

Al ma’tsurat merupakan kumpulan dzikir dan doa yang dikumpulkan oleh Imam Hasan Al Banna yang diambil dari hadits-hadits Nabi saw untuk dibaca oleh setiap anggota jama’ah Ikhwanul Muslimin khususnya atau seluruh kaum muslimin pada umumnya agar senantiasa mengingat Allah swt dan berada dalam ketaatan kepada-Nya.

Imam Al Banna juga meminta agar al ma’tsurat senantiasa dibaca pada saat pagi, mulai dari waktu fajar hingga zhuhur dan pada saat petang mulai dari waktu ashar hingga setelah isya, baik secara berjama’ah maupun sendirian. Beliau mengatakan,”Siapa yang tidak sempat membaca seluruhnya hendaklah dia membaca sebagiannya sehingga kelak ia tidak terbiasa melalaikan dan meninggalkannya.”

Imam Al Banna juga mengingatkan setiap anggotanya agar senantiasa menyadari pentingnya mengingat Allah di setiap waktu dan keadaan, keutamaan-keutamaannya dan memperhatikan adab-adab didalam berdzikir.

Al Banna mengatakan,”Apabila engkau mengetahui, wahai akh yang mulia, maka janganlah engkau merasa aneh jika seorang muslim senantiasa mengingat Allah disetiap keadaannya, mewarisi Nabi saw—dialah sebaik-baik makhluk—didalam dzikir, doa, syukur, tasbih dan tahmid disetiap keadaan baik yang kecil, besar maupun yang dianggap remeh. Sesungguhnya Nabi saw senantiasa dzikrullah disetiap keadaannya maka tidaklah aneh jika kami meminta kepada Ikhwanul Muslimin untuk meniru sunnah Nabi mereka dan berqudwah kepadanya serta menghafalkan dzikir-dzikir ini dan mendekatkan dirinya kepada Allah Yang Maha Agung lagi Maha Pengampun dengannya, sebagaimana firman Allah swt :

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا


Artinya : “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al Ahzab : 21)

Tentang dzikir secara berjama’ah, Imam Al Banna menyebutkan hadits yang diriwayatkan Imam Muslim,”Tidaklah suatu kaum duduk-duduk untuk berdzikrullah kecuali para malaikat mengelilingi mereka, dipayungi dengan rahmat, turun ketenangan kepada mereka dan Allah menyebut-nybut mereka kepada siapa saja yang berada disisi-Nya.”

Kalian akan banyak menjumpai hadits-hadits yang menunjukkan bahwa Nabi saw keluar untuk shalat berjama’ah sementara mereka sedang berdzikrullah di masjid lalu beliau saw memberikan kabar gembira kepada mereka dan tidak melarang mereka.

Berjama’ah didalam ketaatan adalah sesuatu yang disukai terlebih lagi apabila didalamnya banyak mengandung manfaat, seperti menyatukan hati, menguatkan ikatan, memanfaatkan waktu untuk sesuatu yang bermanfaat, mengajarkan orang-orang awam yang belum baik dalam belajar dan mengumandangkan syiar-syiar Allah swt.

Memang sesungguhnya berjama’ah didalam dzikir dilarang apabila didalamnya terdapat hal-hal yang dilarang syariat, seperti mengganggu orang shalat, senda gurau, tertawa, menyelewengkan lafalnya, mengungguli bacaan yang lain atau sejenisnya, dan jika terjadi seperti itu maka berjama’ah didalam berdzikir tidaklah diperbolehkan bukan pada berjama’ahnya itu sendiri, khususnya apabila dzikrullah secara berjama’ah itu dengan menggunakan lafal-lafal dzikir yang ma’tsur lagi shahih sebagaimana didalam wazhifah (al matsurat) ini.

Alangkah baiknya jika Ikhwan senantiasa membacanya disetiap pagi dan petang di tempat-tempat berkumpul mereka ataupun di sebuah masjid dengan menghindari hal-hal yang dimakruhkan. Dan siapa saja yang kehilangan berjama’ah didalam membacanya maka hendaklah dia membacanya secara sendirian dan janganlah meremehkannya. (Majmu’atur Rosail hal 519 – 522)

Membaca al ma’tsurat atau kumpulan-kumpulan dzikir lainnya baik secara berjama’ah maupun sendirian diperbolehkan selama didalam pembacaannya tidak mengandung hal-hal yang dilarang oleh syari’at, sebagaimana disebutkan didalam sebuh hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Tirmidzi, Nasai dari hadits Muawiyah bin Abu Sofyan ra, dia berkata,”Sesungguhnya Nabi saw mendatangi halaqah para sahabat, dan berkata,”apa yang menjadikan kalian duduk-duduk?’ mereka mengatakan,’Kami duduk untuk berdzikrullah dan memuji-Nya terhadap atas segala petunjuk-Nya kepada kami kepada islam dan segala nikmat-Nya kepada kami… sehingga beliau bersabda,’Telah datang Jibril menemuiku dan memberitahuku bahwa Allah swt membanggakan kalian dihadapan para malaikat.”

Siapakah Imam Hasan Al Banna?

Jika kita membicarakan sosok Hasan Al Banna maka kita tidak bisa melepaskannya dari Jama’ah al Ikhwanul Muslimin, karena dia adalah pendiri dan tokoh sentral jama’ah ini.

Hasan Al Banna dilahirkan di kota al Mahmudiyah di Propinsi al Buhairoh, Mesir pada tahun 1906. Ayahnya adalah seorang ulama yang bernama Ahmad Abdurrahman Al Banna.

Di usia 8 th Al Banna disekolahkan di Madrasah Diniyah Ar Rasyad dan pada usianya yang menginjak 12 tahun dia berhasil menghafal setengah Al Qur’an. Bersama teman-teman SD nya dia mendirikan “Perkumpulan Akhlak dan Adab” kemudian “Perkumpulan Mencegah Hal-hal yang Diharamkan”.

Pada usia belum genap 14 tahun ia telah menghafal 2/3 Al Qur’an dan masuk Madrasah Mu’allimin di Damanhur. Pada usia 16 tahun dia masuk Sekolah Tinggi Darul ‘Ulum dan menyelesaikannya dengan mendapatkan ijazah diploma pada usia 20 tahun di bulan Juni 1927. Setelah itu dia memutuskan untuk menjadi seorang guru di Ismailiyah.

Berbagai penurunan kualitas umat, baik dalam skala Mesir maupun internasional bahkan cenderung menuju kehancuran, seperti berbagai kerusakan akidah, dekadensi moral, keadaan Turki setelah PD I yang berada dibawah kekuatan Inggris dan menjadikannya sebuah negara sekuler serta bercokolnya penjajah di bumi Mesir mendorongnya untuk membentuk al Ikhwanul Muslimin pada bulan Maret 1928.

Setelah mendirikan jama’ah Al Ikhwanul Muslimin di Ismailiyah, Hasan Al Banna mulai mendirikan masjid dan tempat pertemuan al Ikhwan, membangun Ma’had Hira al Islamiy, sekolah untuk ibu-ibu kaum mukminin yang menjadikan da’wah Ikhwan mulai dikenal dan mendapatkan dukungan dari masyarakat.

Pada tahun 1933, Hasan Al Banna pindah ke Kairo yang kepindahannya ini menjadikan berpindah pula Kantor Pusat al Ikhwanul Muslimin kesana. Sejak di Kairo, beliau selalu melakukan perjalanan ke berbagai tempat untuk melakukan pembinaan para anggota ikhwan yang baru tentang akhlak berda’wah dan membekali mereka agar memiliki ketahanan didalam mengemban beban-bebannya. Pekerjaan ini terus dilakukannya hingga jama’ah al Ikhwanul Muslimin memenuhi seluruh tempat di Mesir.

Hal itu pun didukung dengan berbagai strategi da’wah yang dipusatkan di Kairo diantaranya :

1. Berbagai ceramah, ta’lim di masjid-masjid.
2. Menerbitkan Risalah “al Mursyid al ‘Am”, majalah pekanan “al Ikhwanul Muslimin” kemudian majalah “An Nadzir”
3. Mengeluarkan surat-surat dan buletin.
4. Membentuk syu’bah-syu’bah (cabang-cabang) di dan luar Kairo.
5. Membentuk organisasi kepanduan & olah raga.
6. Memfokuskan da’wah ke kampus dan sekolah.
7. Mu’tamar dan dauroh di Kairo & kota-kota lain.
8. Menghidupkan kembali syi’ar-syi’ar islam di Kairo dan kota-kota lain.
9. Munashoroh negeri-negeri islam terutama Palestina.
10. Mengambil peran dalam perbaikan politik dan sosial.
11. Ikut serta dalam memerangi kristenisasi.
12. Mengingatkan kelalaian penguasa terhadap islam.

Hal itu menjadikan pemerintah Kolonial Inggris geram sehingga mereka membuat langkah-langkah untuk memadamkan cahaya da’wah dengan melakukan :

1. Menjauhkan para pendukung Hasan Al Banna dari semua kursi pemerintahan di Mesir.
2. Memutasikan Al Banna dari pekerjaannya di Kairo ke Qana.

Hingga akhirnya al Ikhwanul Muslimin dibubarkan untuk pertama kalinya pada tahun 1942 dan menutup seluruh cabang-cabangnya.

Pada Oktober 1946 mulailah terjadi pegolakan di Mesir yang ditandai dengan berbagai demonstrasi mahasiswa yang dipelopori oleh para mahasiswa Ikhwan. Demonstrasi ini terus berlangsung hingga pada 9 Februari 1947 beberapa mahasiswa Ikhwan menjadi syuhada dalam sebuah Long March menuju istana Abidain

Pengawasan pemerintah terhadap para aktivis ikhwan pun diperketat sejak bulan Juni hingga Agustus 1947. Dan siapapun yang dianggap mencurigakan dan berbahaya akan ditangkap, dan puncaknya adalah pada bulan September 1947 terjadi penangkapan besar-besaran terhadap anggota ikhwan oleh Pemerintahan Ismail Shidqi. Tidak kurang dari 40.000 anggota ikhwan ditangkap dan dipenjarakan. Tindakan sewenang-wenang ini pun berlanjut dengan penangkapan para tokoh Ikhwan pada tanggal 16 November 1947 yang menjadikan kerusuhan di Mesir semakin meluas. Puncak dari itu adalah jatuhnya Ismail Shidqi pada tanggal 8 Desember 1947.

Permasalahan Mesir pun dibawa ke dewan Keamanan PBB seperti yang diusulkan ikhwan. Pada kesempatan ini ikhwan pun mengirimkan utusannya yang bernama Mustafa Mukmin ke sidang Dewan Keamanan PBB namun beliau diusir ke luar gedung sehingga dia berpidato di luar gedung Dewan yang cukup menyita banyak perhatian orang-orang yang melintas, termasuk para imigran dari Asia dan Afrika. Hasan Al Banna pun mengirimkan surat ke Dewan Keamanan PBB agar Inggris ditarik dari Mesir dan menyatukan Wadi an Nil.

Berbagai konspirasi internasional pun terus dilakukan oleh negara-negara besar, seperti Amerika Serikat, Inggris dan Perancis yang mendesak pembubaran al Ikhwanul Muslimin untuk yang kedua kalinya. Sehingga pada 8 Desember 1948 ada sebuah instruksi militer tentang pembubaran Jama’ah al Ikhwanul Muslimin dan menyita seluruh aset-asetnya.

Sejak itu kembali terjadi berbagai penangkapan terhadap banyak kader dan tokoh-tokoh ikhwan hingga puncaknya adalah penembakan Imam Hasan Al Banna, pada tanggal 11 Februari 1949 di depan kantor Asy Syubbanul Muslimun oleh segerombolan orang yang mengenai lambung dan tangan beliau.

Al Banna sempat dibawa ke RS al Qashrul Aini dan ketika seorang dokter muslim yang bernama Abdullah al Katib ingin memeriksanya maka ia pun dilarang. Hingga pada malam harinya, beliau menghembuskan nafasnya yang terakhir,

Pada pukul 01.00 dini hari (12 Februari 1949) datang serombongan orang menemui ayahnya dan memberitahukan kematiannya dan mengatakan kepadanya bahwa jenazah Hasan Al Banna bisa diambil dengan syarat tidak ada iring-iringan pelepasan jenazah dan pemasangan tenda di rumahnya.

Pada keesokan harinya, ayahnya sendiri dengan ditemani oleh Mukram dan beberapa saudara perempuannya mengurusi jenazahnya serta mengantarkannya ke pemakaman Imam Syfi’i dengan dikawal oleh tank-tank berlapis baja. (dari berbagai sumber)

Demikianlah sejarah ringkas kehidupan seorang muassis (pendiri) sebuah jama’ah besar yang da’wahnya hingga hari ini terus menyinari banyak tempat di bumi. Kehidupan seorang yang menghabiskan waktunya untuk umat dan da’wah yang itu semua dibuktikan dengan gugurnya beliau ditangan orang-orang zhalim yang menghendaki cahaya kebenaran ini padam namun mereka lupa bahwa da’wah ini bukanlah milik Hasan Al Banna atau para pengikutnya yang setiap saat bisa mengalami kematian dan digantikan oleh generasi berikutnya. Sesungguhnya da’wah ini adalah milik Allah Yang Maha Agung lagi Maha Perkasa, Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Zhahir dan Yang Bathin, firman Allah swt :

يُرِيدُونَ لِيُطْفِؤُوا نُورَ اللَّهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَاللَّهُ مُتِمُّ نُورِهِ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ


Artinya : “Mereka ingin memadamkan cahaya Allah dengan mulut (tipu daya) mereka, tetapi Allah (justru) menyempurnakan cahaya-Nya, walau orang-orang kafir membencinya". (QS. Ash Shaff : 8)

Wallahu A’lam

Kamis, 16 September 2010

3 Pertanyaan Pemuda

Ada seorang pemuda yang lama sekolah di negeri Sam kembali ke tanah air. Sesampainya di rumah ia meminta kepada orang tuanya untuk mencari seorang Guru agama, siapapun boleh menjawab 3 pertanyaannya. Akhirnya Orang tua pemuda itu mendapatkan seorang guru tersebut. “Anda siapa? Dan apakah anda bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan saya?”

Pemuda bertanya. “Saya hamba Allah dan dengan izin-Nya saya akan menjawab pertanyaan saudara.” Jawab Guru Agama. “Anda yakin? sedangkan Profesor dan banyak orang pintar saja tidak mampu menjawab pertanyaan saya.” Jawab Guru Agama “Saya akan mencoba sejauh kemampuan saya” Pemuda : “Saya punya 3 pertanyaan;

1. Kalau memang Tuhan itu ada, tunjukan kewujudan Tuhan kepada saya
2. Apakah yang dimaksudkan dengan takdir?
3. Kalau syaitan diciptakan dari api kenapa dimasukan ke neraka yang dibuat dari api?, tentu tidak menyakitkan buat syaitan, sebab mereka memiliki unsur yang sama. Apakah Tuhan tidak pernah berfikir sejauh itu?”

Tiba-tiba Guru Agama tersebut menampar pipi si Pemuda dengan kuat. Sambil menahan kesakitan pemuda berkata “Kenapa anda marah kepada saya?” Jawab Guru Agama “Saya tidak marah … Tamparan itu adalah jawaban saya kepada 3 pertanyaan yang anda ajukan kepada saya”.

“Saya sungguh-sungguh tidak faham”, kata pemuda itu. Guru Agama bertanya “Bagaimana rasanya tamparan saya?”. “Tentu saja saya merasakan sakit”, jawab beliau. Guru Agama bertanya ” Jadi anda percaya bahawa sakit itu ada?”. Pemuda itu mengangguk tanda percaya. Guru Agama bertanya lagi, “Tunjukan pada saya wujud sakit itu!” “Tentu saja saya tidak bisa”, jawab pemuda. “Itulah jawaban pertanyaan pertama. Kita semua merasakan kewujudan Tuhan tanpa mampu melihat wujudnya.” Terang Guru Agama. Guru Agama bertanya lagi, “Apakah tadi malam anda bermimpi akan ditampar oleh saya?”. “Tidak” jawab pemuda. “Apakah pernah terfikir oleh anda akan menerima sebuah tamparan dari saya hari ini?” “Tidak” jawab pemuda. “Itulah yang dinamakan Takdir” Terang Guru Agama. Guru Agama bertanya lagi, “Terbuat dari apa tangan yang saya gunakan untuk menampar anda?”. “kulit”. Jawab pemuda. “Pipi anda diperbuat dari apa?” “ Kulit “ Jawab pemuda. “Bagaimana rasanya tamparan saya?”. “Sakit.” Jawab pemuda. “Walaupun Syaitan terbuat dari api dan Neraka terbuat dari api, jika Tuhan berkehendak maka Neraka akan menjadi tempat menyakitkan untuk syaitan.” Terang Guru Agama.

Jumat, 10 September 2010

ZAKAT MELEDAK DAN LEDAKAN ZAKAT

Dipublikasi di Batam Pos edisi 8 September 2010

Bicara zakat, tidak bisa kita lepaskan dari pembicaraan mengenai how to manage, pengelolaan zakat. Di Indonesia pengelolaan zakat telah diatur di dalam UU No.38 Tahun 1999. Dalam UU ini, pengelolaan zakat dilakukan oleh negara (BAZ) dan masyarakat (LAZ). BAZ dan LAZ dapat melakukan pengelolaan zakat sesuai dengan tingkatannya. Harapan dan cita-cita besar akan pengelolaan zakat di Indonesia yang semakin baik, secara terus menerus dievaluasi dan disempurnakan. Salah satu harapan dan cita-cita besar tersebut adalah dapat mengatasi/mengurangi masalah kemiskinan. Pengelolaan zakat yang baik tidak dapat dipisahkan dari pemahaman mengenai 2 hal mendasar, yaitu kemakmuran dan nilai.

Zakat adalah simbol kemakmuran
Mengelola zakat berarti merancang sebuah kemakmuran. Kemakmuran adalah suatu keadaan dimana seluruh rakyatnya telah dalam kondisi sejahtera. Tingkat kemakmuran dan kesejahteraan dapat diukur dari tingkat daya (kemampuan) beli untuk memenuhi kebutuhan konsumsinya. Semakin makmur dan sejahtera berarti semakin tinggi kemampuan untuk memenuhi kebutuhan konsumsinya. Ketidakmampuan seseorang untuk memenuhi kebutuhan konsumsinya sering dikatakan sebagai ketidaberdayaan (baca : kemiskinan). Maka fokus dalam pengelolaan zakat adalah bagaimana mengatasi (baca : merubah) dari kondisi tidak berdaya menjadi berdaya. Dari kondisi tidak makmur menjadi makmur. Itulah esensi zakat sebagai pengejawantahan makna hablumminnas (hubungan dengan sesama manusia).

Merancang kemakmuran berarti merancang perubahan. Perubahan dari suatu kondisi tidak berdaya menjadi kondisi penuh dengan berdaya (bermartabat). Dari kondisi miskin menjadi kaya, kondisi bodoh menjadi pintar, kondisi terbelakang menjadi kondisi maju. Untuk merancang perubahan ini bukan hal mudah. Berbagai problema “ketidakberdayaan” dan kemiskinan antara lain kebodohan, kultur/budaya, kebiasaan, cara pandang/paradigma sangat begitu komplek. Oleh karena itu perlu pengelolaan, perancangan dan perencanaan yang baik dengan dukungan SDM (orang-orang) yang berkualitas dan terampil dalam masalah “ketidakberdayaan” dan kemiskinan, juga hal yang tidak kalah pentingnya adalah dukungan dana masyarakat. Salah satu sumber dana masyarakat yang cukup signifikan dan sesuai dengan semangat dan hakekatnya adalah dana zakat. Dana zakat hakekatnya adalah untuk merubah kondisi tidak mampu menjadi mampu.

Dengan demikian satu sisi zakat menyentuh (baca : bicara) sisi pemberdayaan kemiskinan, disisi lain ternyata zakat menyentuh sisi kemakmuran. Ketika suatu masyarakat semuanya sudah dalam kondisi berdaya, maka itulah apa yang diharapkan dan dicita-citakan pengelolaan zakat telah terwujud yaitu kemakmuran. Salah satu tanda kemakmuran adalah berlimpahnya dana zakat di Baitul Maal (BAZ dan LAZ). Karena pada saat itu, semua orang telah berdaya, telah berlebihan dan telah mampu. Maka mengeluarkan harta sebagai kewajiban zakat, bukanlah hal yang sulit/masalah. Justru disaat itu, orang-orang berlomba-lomba untuk mengisi Baitul Maal. Oleh karena itu zakat adalah simbol kemakmuran. Dengan semakin makmur, sesungguhnya semakin banyak dana zakat yang terhimpun.

Zakat berarti mengelola nilai (value).
Mengelola zakat berarti mengelola nilai (value). Nilai (value) adalah sesuatu yang abstract (tidak berwujud). Oleh karena itu mengelola zakat berbeda dengan mengelola perusahaan yang menghasilkan barang. Lebih mudah mengelola perusahaan karena barang hasil produksi jelas dapat dilihat, dipegang dan bisa langsung dimanfaatkan. Namun zakat adalah nilai, sebuah produk yang tidak dapat dilihat, dipegang dan bisa langsung dirasakan manfaatnya. Oleh karena itu, bicara zakat sebagai nilai tidak dapat dilepaskan dengan masalah keimanan.

Urusan zakat berkaitan masalah harta (uang). Secara normatif, jika kita menunaikan kewajiban zakat maka jumlah uang kita akan berkurang. Padahal makna kata zakat adalah berkembang/bertambah. Maka dengan penunaian zakat hakikatnya bukan mengurangi harta namun justru menambah keberkahan harta. Disinilah tantangan dalam pengelolaan zakat, bagaimana memahamkan kepada muzaki bahwa sesuatu yang dikeluarkan itu justru akan menambah bukan mengurangi. Maka bicara zakat, juga membicarakan mengenai proses memahamkan (sosialisasi). Dengan sosialisasi yang baik, diharapkan tumbuh pemahaman yang baik. Dengan pemahaman yang baik, tumbuh keimanan dan akhirnya dengan keimanan yang baik, tumbuh kesadaran akan pentinya zakat.

Zakat sebagai nilai (value), bukan semata-mata menyentuh sisi muzaki-nya saja (pemberi manfaat), namun juga harus menyentuh pada sisi mustahik-nya (penerima manfaat). Semangat zakat adalah perubahan. Perubahan baik secara jasmani maupun rohani. Bukan semata-mata merubah dari yang tidak mampu secara financial menjadi mampu financial, tetapi zakat juga harus merubah dari “nilai”/tabiat/karakter yang tidak baik menjadi baik. Dari seseorang yang tidak pernah sholat menjadi taat sholat, dari yang suka berbohong menjadi jujur, dari yang tidak amanah menjadi amanah. Itulah semangat zakat, perubahan. Oleh karena itu, tantangan bagi pengelolaan zakat adalah bagaimana caranya agar zakat yang diberikan kepada penerima manfaat mampu merubah akhlak/”nilai” dalam pribadi mustahik.

ZAKAT MELEDAK
Ramadhan adalah bulan pelipatgandaan amal kebajikan. Pada bulan ini ramai orang berlomba-lomba memberikan kebaikan, baik dalam bentuk materi maupun non materi. Termasuk dalam urusan penunaian zakat. Pada bulan ini penerimaan dana zakat begitu “fantastis”, luar biasa besarnya. Sehingga kondisi ini dikatakan zakat meledak. Fenomena ini terjadi rutin setiap tahun, karena memang kebiasaan ini berlangsung secara turun temurun. Orang Islam sejak dari kecil mengerti bahwa Ramadhan adalah bulan kewajiban untuk menunaikan zakat. Sehingga banyak pengelola zakat (amil) musiman bermunculan dimana-mana. Tujuannya untuk memudahkan penerimaan dan penyaluran zakat. Dengan “usaha ala kadarnya” amil musiman mengelola zakat dari muzaki. Mungkin ada sebagian pengelola zakat yang benar-benar all out melakukan upaya-upaya mendongkrak tingkat penghimpunan zakat dan mengelola dalam bentuk program pemberdayaan. Namun jumlah pengelola yang demikian jika dibandingkan dengan total penerimaan dana yang terhimpun oleh amil musiman, jelas tidak ada artinya (tidak mempengaruhi secara signifikan).

Istilah zakat meledak berasal dari meminjam istilah “meledak” yang artinya suatu keadaan yang terjadi tanpa dapat dikendalikan. Zakat meledak berarti suatu kondisi dimana dana zakat terkumpul cukup signifikan yang dihasilkan dari kurangnya pengorganisasian yang baik. Sesuatu yang tidak diorganisasi dengan baik, akibatnya akan fatal. Ia akan berjalan tanpa tentu arah, menabrak sana sini, lepas kontrol (tiada kendali) yang mengarahkan. Ujung-ujungnya, pengelolaan zakat dipertanyakan. Sudahkah zakat di Indonesia dikelola dengan baik ?

Padahal kita tahu, masalah kemiskinan atau orang-orang miskin tidak hanya ada pada bulan Ramadhan saja, tapi setiap hari banyak terjadi diluar bulan Ramadhan. Masalah kemiskinan tidak mungkin diselesaikan dalam 1 bulan saja (pada Ramadhan), tapi penanganan kemiskinan ditangani by process secara konsisten dan serius, butuh waktu lama. Oleh karena itu perlu diciptakan upaya-upaya maksimal (terorganisasi dan terkendali dengan baik) agar zakat tidak sekedar meledak namun menjadi “ledakan zakat”.

LEDAKAN ZAKAT

Ledakan zakat adalah suatu kondisi dimana dana zakat yang terhimpun jumlahnya sangat signifikan, jauh melebihi jumlah kebutuhan dana yang dimanfaatkan untuk pengentasan kemiskinan, yang dicapai melalui kesengajaan upaya yang terorganisasi dan terkendali dengan baik. Dalam kondisi demikian, kondisi ini telah mengalami kemakmuran. Zakat nyata menjadi simbol kemakmuran.

Oleh karena itu, agar proses terjadinya kemakmuran cepat terjadi maka harus ada “kesengajaan” mengatur dan mengendalikan upaya-upaya terwujudnya ledakan zakat. Beberapa hal berikut adalah upaya-upaya yang dapat dilakukan :
1.Menumbuhkan kesadaran pemberi manfaat (muzaki)
Upaya menumbuhkan kesadaran muzaki dapat dilakukan melalui kegiatan sosialisasi dengan berbagai cara-cara yang inovatif. Keberhasilan memahamkan orang tentang zakat adalah tergantung dari kreatifnya kita “mengemas” zakat dengan bahasa komunikasi yang berempati dan fair value. Tema sosialisasi yang perlu diangkat adalah :
a. Semangat dan manfaat zakat
b. Menyalurkan zakat melalui lembaga (baitul maal)
Dengan tumbuhnya kesadaran yang baik dari para pemberi manfaat (muzaki) kepada lembaga (baitul maal) maka dana zakat dapat terkumpul secara konsisten, dengan demikian dapat dilaksanakan program-program pemberdayaan kepada kaum dhuafa secara lebih baik.

2.Mendorong terwujudnya Baitul Maal

Idealisme pengelolaan zakat yang baik dan optimal hanya dapat dilakukan melalui sebuah lembaga (amil). Inilah peran strategis amil dalam pengelolaan zakat sehingga jelas didalam QS At Taubah ayat 60 sebagai salah satu yang berhak menerima zakat. Urusan zakat adalah menyangkut hajat hidup orang banyak, maka pemerintah punya kewenangan untuk mengaturnya. Oleh karena itu pemerintah harus mempunyai Baitul Maal sebagai pusat pengorganisasian dan pengendalian zakat. Dalam prakteknya, Baitul Maal ini adalah Badan Amil Zakat (BAZ).

Kenyataan bahwa pengelolaan zakat juga dilakukan oleh masyarakat (LAZ) lebih didorong karena kurang percayanya masyarakat menyerahkan pengelolaan zakat kepada pemerintah. Disatu sisi peran ini cukup baik dalam dunia zakat, namun disisi lain memunculkan egoisme masing-masing lembaga. Oleh karena itu harus dilakukan upaya-upaya antara lain :
a. Menumbuhkan kepercayaan kepada pemerintah, dengan memilih orang-orang sebagai amil yang kompeten dan akhlak baik.
b. Menumbuhkan kesepahaman diantara lembaga pengelola zakat tentang pentingnya pengelolaan zakat yang satu. Satu koordinasi dan satu kendali dibawah baitul maal pemerintah.
Dengan adanyanya baitul maal diharapkan pengelolaan zakat dapat lebih efektif, terorganisasi dan terkendali dengan baik. Tidak ada lagi egoisme, yang ada sinergi bersama dalam pengelolaan zakat.

3.Menumbuhkan kesadaran penerima manfaat (mustahik)

Zakat sebagai simbol kemakmuran, bukan sekedar makmur secara materi namun juga makmur secara akhlak. Adanya perbaikan kualitas pribadi dari penerima manfaat (mustahik). Jika selama ini zakat hanya diberikan “hanya” untuk sekedar memenuhi kebutuhan materi mustahik, maka sekarang zakat harus sudah mulai menyentuh aspek kualitas akhlak. Dengan demikian dapat diharapkan akan tumbuh kesadaran dari mustahik tentang pentingnya akhlak dan kualitas ibadah yang baik dalam kehidupan sehari-hari.

Untuk menumbuhkan kesadaran ini, perlu upaya-upaya antara lain melalui bimbingan. Bimbingan yang diberikan dapat dilakukan dengan mendampingi mustahik didalam komunitasnya, dengan memberikan contoh dan bimbingan praktek keseharian, baik dalam hal ibadah maupun dalam hal ucapan dan perbuatan.

4.Mendorong peran pemerintah

Peran pemerintah melalui UU No.38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat sudah dirasa cukup baik untuk mendorong pengelolaan zakat di Indonesia. Ada beberapa peran pemerintah yang masih harus dilakukan, antara lain :
a. Merevisi UU No.38 tahun 1999 dengan beberapa masukan antara lain :
i. Adanya pasal tentang perintah mengumpulkan kepada pengelola zakat. Semangat perintah disini adalah untuk meningkatkan etos kerja amil dan muzaki. Amil tidak sekedar duduk saja (pasif) namun dituntut untuk proaktif mendatangi muzaki. Dengan adanya perintah ini, diharapkan meningkatkan produktiftas pengelola zakat disatu sisi dan sisi lain menjadi boomerang bagi muzaki apabila tidak menunaikan kewajiban zakatnya.
ii. Adanya pasal sanksi bagi muzaki dan mustahik. Salah satu upaya untuk menumbuhkan kesadaran bagi muzaki dan mustahik adalah dengan menerapkan sanksi. Dengan adanya sanksi ini diharapkan kesadaran muzaki dan mustahik semakin baik. Muzaki semakin sadar akan kewajibannya, mustahik sadar bahwa amanah dana zakat harus benar-benar dapat dipertanggungjawabkan.
b. Akreditasi lembaga pengelola zakat
Mengelola zakat berarti mengelola dana masyarakat, yang berarti mengelola dana sektor publik. Sehingga lembaga pengelola zakatnya dianggap sebagai lembaga sektor publik. Untuk itu agar pengelolaan dana publik tersebut dapat berjalan dengan baik, maka perlu keterlibatan masyarakat dalam pengawasannya. Keterlibatan masyarakat dalam pengawasan dapat dilakukan dengan memberikan “status” atas kinerja pengelolaan zakatnya. Pemberian “status” ini sering disebut dengan istilah akreditasi.
Akreditasi diberikan dengan mengikuti sejumlah indikator sebagai tolak ukur kinerja. Secara umum dapat dibedakan dalam 2 aspek yaitu aspek manajemen dan aspek syariah. Aspek manajemen berbicara mengenai system pengelolaan dana, seperti program kerja, perolehan dana, laporan keuangan, peningkatan kualitas SDM dll. Sedangkan aspek syariah berbicara mengenai aspek normatif keagamaan (apakah pengelolaan sesuai/menyimpang dari hukum Islam).

Dengan demikian akreditasi ini secara tidak langsung akan menjadi “sanksi” bagi lembaga pengelola zakat. Jika baik dalam pengelolaan, tentu akan mendapatkan pengakuan akreditasi yang baik (misal A). Namun sebaliknya, jika dalam pengelolaan tidak baik, akan mendapatkan pengakuan akreditasi yang tidak baik (misal C).
Dalam prakteknya belum ada mekanisme akreditasi ini. Kendala yang dihadapi adalah tidak adanya mekanisme pengukuran kinerja yang standard diantara pengelola zakat. Oleh karena itu, seiring dengan arah terwujudnya “ledakan zakat” maka perlu disusun standard pengukuran kinerja bagi pengelola zakat.

Dengan upaya-upaya diatas, diharapkan dapat semakin meningkatkan kualitas pengelolaan zakat di Indonesia sehingga harapan dan cita-cita besar pengelolaan zakat segera tercapai. Ihktiar kecil mewujudkan “ledakan zakat” harus dilakukan dan dikawal agar tidak menjadi “zakat meledak”. Mewujudkan ledakan zakat sesungguhnya mewujudkan kemakmuran.
Wallohu’alam

Batam, 12 Agustus 2010

Cahyo Budi Santoso

Identitas penulis
Nama : Cahyo Budi Santoso, SE
TTL : Kediri, 12 juni 1974
Pendidikan : S1 Manajemen
HP : 0811 7000040
Email : cafana_07@yahoo.com
Blog : http://cahyobudisantoso.blogspot.com
Kegiatan/aktivitas :
1. Pengamat sosial
2. Dosen Universitas Riau Kepulauan – Batam
3. Dosen Gici Business Scholl – Batam
4. Tutor Universitas Terbuka – Batam
5. Pengurus Wilayah Dewan Nasional Angkatan ’66 Provinsi Kepulauan Riau sebagai Bidang Hukum dan Advokasi

LAKUKAN 3 HAL

Sahabat...Mungkin kita sering kali mengeluh… mengapa sih saya begini….mengapa sih harus begitu?? dan seterusnya. Padahal kita tahu bahwa apa yang kita lakukan merupakan hasil dari kesadaran kita sendiri tanpa melalui paksaan dari pihak manapun.


Maka berikut saya berbagi tips-tips bagaimana memaksimal potensi baik yang Allah berikan pada kita. Sebelum anda melakukan hal nanti..maka fikirkanlah apa yang harus ada maksimal dari diri anda…kemudian lakukan 3 hal berikut :

1. Rubahlah Penglihatan anda
Dengan merubah penglihatan yang buruk sama halnya kita merubah jenis data yang bisa ter-input ke otak kita melalui mata. Sebab manusia cenderung banyak mengikuti apa yang lebih banyak dilihatnya.


2. Rubahlah Pendengaran anda
Begitupun juga telingah..sebagai sebuah alat input data yang Allah karuniakan…maka merubah pendengaran adalah bagian yang harus juga dilakukan.

Semakin banyak mata dan telinga kita melihat dan mendengar yang buruk-buruk maka data yang akan tersimpan dalam otak kita adalah data-data buruk maka aktivitas yang ditimbulkannya adalah aktivitas buruk. Pun jika data yang terinput dari penglihatan dan pendengaran adalah baik maka aktivitas yang timbul adalah aktivitas baik.


3. Rubahlah Teman anda
Merubah teman adalah sebuah keniscayaan…ibarat sebuah pepatah mengatakan bahwa berteman dengan pedagang minyak wangi akan juga terkena bau wanginya pun jika berteman dengan pandai besi akan kena api minimal gosong sedikit.


Sahabat, hal ini bukan bermaksud menjadikan diri kita ekslusif namun sebagai sebuah terapi diri. Semakin banyak volume komunikasi kita dengan orang-orang sukses maka fikiran dan perbuatan kita akan cenderung meniru sukses, pun sebaliknya…jika volume komunikasi kita dengan orang-orang gagal adalah lebih banyak maka kecenderungan untuk menjadi orang gagal menjadi semakin banyak…demikian seterusnya.

Ketahuilah bahwa…otak manusia cenderung lebih muda mengaplikasin yang buruk dibandingkan dengan yang baik.


So, Tinggal kita yang memilihnya ??


http://kesehatan.kompasiana.com/group/kejiwaan/2010/09/08/cukup-lakukan-3-hal-saja/

Rabu, 08 September 2010

BERHARI RAYA DENGAN SIAPA

Berhari Raya Dengan Siapa?

Posted: 04 Sep 2010 05:00 PM PDT

Sudah beberapa tahun ini, sering kali kaum muslimin di Indonesia tidak
merasakan berhari raya bersama-sama. Mungkin dalam berpuasa boleh
berbarengan, namun untuk berhari raya kadang kaum muslimin berbeda
pendapat. Ada yang manut saja dengan keputusan Departemen Agama RI
(pemerintah). Ada pula yang manut pada organisasi atau kelompok
tertentu. Ada juga yang mengikuti hari raya di Saudi Arabia karena di
sana sudah melihat hilal. Ada pula yang berpegang pada hasil hisab
dari ilmu perbintangan. Ada pula yang semaunya sendiri kapan berpuasa
dan berhari raya, mana yang berhari rayanya paling cepat itulah yang
diikuti. Lalu manakah yang seharusnya diikuti oleh seorang muslim?
Berikut kami bawakan beberapa fatwa Komisi Tetap Urusan Riset dan
Fatwa Kerajaan Arab Saudi (Al Lajnah Ad Da’imah Lil Buhuts Al ‘Ilmiyah
wal Ifta’).


[Fatwa Pertama - Sekelompok Orang Berhari Raya Sendiri]

Fatawa no. 10973

Soal: Di negeri kami ada sekelompok saudara kami yang berpegang teguh
dengan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berupa memelihara
jenggot. Akan tetapi, mereka ini menyelisihi kami dalam beberapa
perkara. Di antaranya adalah dalam berpuasa Ramadhan. Mereka enggan
untuk berpuasa sampai mereka sendiri dengan mata kepala melihat hilal
(bulan sabit tanggal satu kalender Hijriah -pent). Pernah suatu waktu,
kami memulai puasa Ramadhan satu atau dua hari sebelum mereka.
Terkadang pula mereka berhari raya satu atau dua hari setelah kami
merayakan Idul Fitri. Ketika kami bertanya pada mereka tentang puasa
pada hari raya, mereka malah menjawab, “Kami tidak mau berhari raya
dan tidak mau berpuasa sampai kami melihat sendiri hilal dengan mata
kepala kami.” Mereka beralasan dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam, “Berpuasalah karena melihat hilal dan berhari rayalah
karena melihatnya“. Akan tetapi, mereka tidaklah menentukan ru’yah
dengan alat tertentu sebagaimana yang kalian ketahui. Mereka juga
menyelisihi kami dalam shalat ‘ied, mereka tidak shalat kecuali satu
hari setelah ‘ied sesuai dengan ru’yah yang mereka lakukan. Semacam
ini pula terjadi ketika Idul Adha, mereka menyelisihi kami dalam
memulai menyembelih hewan kurban dan wukuf di Arofah. Mereka baru
merayakan Idul Adha setelah dua hari kami merayakannya. Mereka
tidaklah menyembelih hewan kurban kecuali setelah seluruh kaum
muslimin menyembelih. Mereka juga shalat di masjid yang ada kuburan
lalu mereka mengatakan bahwa tidaklah diharamkan shalat di masjid yang
ada kuburan. Semoga Allah membalas amal kebaikan kalian.

Jawab: Wajib bagi mereka untuk berpuasa dan berhari raya sebagaimana
manusia pada umumnya. Hendaklah pula mereka melaksanakan shalat ‘ied
bersama dengan kaum muslimin yang lainnya yang berada di negeri
mereka. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ والإِفْطَارُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ
وَالأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ

“Awal puasa adalah hari yang kamu semua memulai puasa. Idul fitri
adalah hari yang kamu semua merayakan idul fitri. Idul Adha adalah
hari yang kamu semua merayakan idul adha.” (HR. Abu Daud, At Tirmidzi,
Ibnu Majah. Dishohihkan oleh Syaikh Al Albani dalam As Silsilah Ash
Shohihah no. 224)

Semoga Allah memberi kita taufik. Shalawat dan salam kepada Nabi kita
Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Al Lajnah Ad Da’imah Lil Buhuts Al ‘Ilmiyah wal Ifta’

Anggota: Abdullah bin Ghodyan
Wakil Ketua: Abdur Rozaq ‘Afifi
Ketua: ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz

[Fatwa Kedua - Menentukan Hari Raya dengan Ilmu Hisab]

Pertanyaan Kedua, Fatawa no. 2036

Soal: Terdapat perselisihan yang cukup sengit di antara ulama kaum
muslimin mengenai penentuan awal puasa Ramadhan dan Idul Fitri.
Sebagian dari mereka beramal dengan hadits, “Berpuasalah karena
melihat hilal, begitu pula berhari rayalah karena melihatnya“. Namun,
ulama lainnya berpegang teguh dengan pendapat ahli falak (ahli ilmu
perbintangan). Para ulama ini mengatakan, “Sesungguhnya ahli falak
adalah pakar dalam ilmu perbintangan yang memungkinkan mereka untuk
mengetahui awal bulan qomariyah (tanggal 1 bulan hijriyah).” Oleh
karena itu, para ulama tadi mengikuti kalender (sesuai dengan ilmu
perbintangan).

Jawab: Pertama, pendapat yang kuat yang wajib diamalkan adalah yang
sesuai dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ ، وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ ، فَإِنْ غُمَّ
عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا العِدَّةَ

“Berpuasalah karena melihat hilal, begitu pula berhari rayalah karena
melihatnya. Apabila kalian tertutup mendung, genapkanlah bulan
tersebut” (HR. Bukhari dengan berbagai lafazh). Hadits ini menunjukkan
bahwa awal dan akhir bulan Ramadhan ditentukan dengan melihat hilal.
Dan syariat Islam yang dibawa oleh Nabi kita Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam adalah umum tetap kekal dan berlaku hingga hari
kiamat.

Kedua, Allah ta’ala tentu mengetahui apa yang telah dan akan terjadi,
ini berarti Allah juga mengetahui nanti akan muncul ilmu falak dan
ilmu-ilmu yang lainnya. Namun, Allah ta’ala berfirman,

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

“Karena itu, barangsiapa di antara kamu menyaksikan bulan (di negeri
tempat tinggalnya), maka hendaklah ia berpuasa pada bulan tersebut.”
(QS. Al Baqarah [2]: 185)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan maksud ayat ini
kepada kita,

صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ ، وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ

“Berpuasalah karena melihat hilal, begitu pula berhari rayalah karena
melihatnya.” (HR. Bukhari)

Dari penjelasan ini menunjukkan bahwa awal dan akhir puasa Ramadhan
ditentukan dengan melihat hilal dan tidaklah dikaitkan dengan ilmu
hisab/ilmu perbintangan, padahal Allah telah mengetahui nanti ada
ilmu perbintangan semacam ini.

Oleh karena itu, wajib bagi setiap muslim kembali dan percaya pada
syariat Allah yang disampaikan melalui lisan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam yaitu menentukan awal dan akhir puasa dengan melihat
hilal. Pendapat inilah sebagaimana ijma’ (kesepakatan) dari para
ulama. Barangsiapa yang menyelisihi dalam hal ini dan beralih kepada
ilmu hisab, maka perkataannya syadz (pendapat yang nyleneh) dan
pendapat ini tidaklah perlu diperhatikan.

Semoga Allah memberi kita taufik. Shalawat dan salam kepada Nabi kita
Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Al Lajnah Ad Da’imah Lil Buhuts Al ‘Ilmiyah wal Ifta’

Anggota: Abdullah bin Ghodyan
Wakil Ketua: Abdur Rozaq ‘Afifi
Ketua: ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz

[Fatwa Ketiga - Perbedaan Penentuan Hari Raya Hendaknya Dikembalikan
pada Keputusan Pemerintah]

Fatawa no. 388

Soal: Bagaimana menurut Islam mengenai perbedaan kaum muslimin dalam
berhari raya Idul Fitri dan Idul Adha? Mengingat jika salah dalam
menentukan hal ini, kita akan berpuasa pada hari yang terlarang (yaitu
hari ‘ied) atau akan berhari raya pada hari yang sebenarnya wajib
untuk berpuasa. Kami mengharapkan jawaban yang memuaskan mengenai
masalah yang krusial ini sehingga bisa jadi hujah (argumen) bagi kami
di hadapan Allah. Apabila dalam penentuan hari raya atau puasa ini
terdapat perselisihan, ini bisa terjadi ada perbedaan dua sampai tiga
hari. Jika agama Islam ini ingin menyelesaikan perselisihan ini, apa
jalan keluar yang tepat untuk menyatukan hari raya kaum muslimin?

Jawab: Para ulama telah sepakat bahwa terbitnya hilal di setiap tempat
itu bisa berbeda-beda dan hal ini dapat diketahui dengan pasti secara
inderawi dan logika. Akan tetapi, para ulama berselisih pendapat
mengenai teranggapnya atau tidak hilal di tempat lain dalam menentukan
awal dan akhir Ramadhan. Dalam masalah ini ada dua pendapat. Pendapat
pertama adalah yang menyatakan teranggapnya hilal di tempat lain dalam
penentuan awal dan akhir Ramadhan walaupun berbeda matholi’ (wilayah
terbitnya hilal). Pendapat kedua adalah yang menyatakan tidak
teranggapnya hilal di tempat lain. Masing-masing dari dua kubu ini
memiliki dalil dari Al Kitab, As Sunnah dan Qiyas. Dan terkadang dalil
yang digunakan oleh kedua kubu adalah dalil yang sama. Sebagaimana
mereka sama-sama berdalil dengan firman Allah,

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

“Karena itu, barangsiapa di antara kamu menyaksikan bulan (di negeri
tempat tinggalnya), maka hendaklah ia berpuasa pada bulan tersebut.”
(QS. Al Baqarah [2]: 185)

Begitu juga firman Allah,

يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ

“Mereka bertanya kepadamu tentang hilal (bulan sabit). Katakanlah:
“Hilal (bulan sabit) itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan
(bagi ibadat) haji.” (QS. Al Baqarah [2]: 189)

Mereka juga sama-sama berdalil dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ ، وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ

“Berpuasalah karena melihat hilal, begitu pula berhari rayalah karena
melihatnya.” (HR. Bukhari)

Perbedaan pendapat menjadi dua kubu semacam ini sebenarnya terjadi
karena adanya perbedaan dalam memahami dalil. Kesimpulannya bahwa
dalam masalah ini masih ada kelapangan untuk berijtihad. Oleh karena
itu, para pakar fikih terus berselisih pendapat dalam masalah ini dari
dahulu hingga saat ini.

Tidak mengapa jika penduduk suatu negeri yang tidak melihat hilal pada
malam ke-30, mereka mengambil ru’yah negeri yang berbeda matholi’
(beda wilayah terbitnya hilal). Namun, jika di negeri tersebut terjadi
perselisihan pendapat, maka hendaklah dikembalikan pada keputusan
penguasa muslim di negeri tersebut. Jika penguasa tersebut memilih
suatu pendapat, hilanglah perselisihan yang ada dan setiap muslim di
negeri tersebut wajib mengikuti pendapatnya. Namun, jika penguasa di
negeri tersebut bukanlah muslim, hendaklah dia mengambil pendapat
majelis ulama di negeri tersebut. Hal ini semua dilakukan dalam rangka
menyatukan kaum muslimin dalam berpuasa Ramadhan dan melaksanakan
shalat ‘ied.

Semoga Allah memberi kita taufik. Shalawat dan salam kepada Nabi kita
Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Al Lajnah Ad Da’imah Lil Buhuts Al ‘Ilmiyah wal Ifta’

Anggota: Abdullah bin Mani’
Wakil Ketua: Abdullah bin Ghodyan
Ketua: Abdur Rozaq ‘Afifi

Itulah beberapa fatwa mengenai bagaimana sebaiknya kita berhari raya.
Kesimpulan dari penjelasan di atas:

Penentuan hari raya bukanlah urusan pribadi atau kelompok, sehingga
keputusan mengenai hal ini dikembalikan kepada pemerintah dan jamaah
kaum muslimin.
Kita diperintahkan untuk melaksanakan puasa dan hari raya bersama
dengan pemerintah dan jamaah kaum muslimin sehingga syi’ar Islam ini
tampak dan tidak tampak perpecahan di tengah-tengah umat.
Penentuan hari raya tidaklah tepat menggunakan ilmu hisab karena kita
diperintahkan untuk menentukan awal bulan qomariyah dengan ru’yah.
Hendaklah semua orang memahami bahwa masalah penentuan hari raya
adalah masalah yang sudah terdapat perselisihan sejak dahulu di
kalangan ulama, maka hendaklah perselisihan ini tidak memecah belah
kaum muslimin. Hendaklah semuanya memahami bahwa penyatuan kalimat dan
barisan adalah prinsip penting dalam agama ini.
15 Ramadhan 1429 H

Muhammad Abduh Tuasikal
Yang menginginkan umat ini bersatu di atas kebenaran

Sabtu, 04 September 2010

DIPLOMASI ALA BUGIS

Oleh: Jusuf Kalla | 4 Agustus 2009 | 10:16 WIB


Sebelum saya menjabat sebagai WAPRES, karakter dan watak orang Bugis sangat jarang yang mengenalnya di belahan nusantara ini. Bahkan ada banyak pendapat yang keliru dan menyangka orang bugis adalah bangsa yang keras dan tidak pernah kenal kompromi. Ini jika melihat dari sejarah banyak yang menganggap bahwa orang bugis adalah bajak laut pada masa silam. Anggapan ini sungguh tidak berdasar dan keliru.

Orang bugis sebenarnya mempunyai cirri khas yang menarik. Dari sejarahnya kerajaan bugis didirikan bukan pada pusat-pusat ibu kota dan sangat jauh dari pengaruh India. Itulah sebabnya di Bugis tidak ada candi. Ini berbeda dengan kerajaan jawa yang mebangun pusat kerajaannya pada ibu kota dan bersifat konsentris.

Namun demikian, orang bugis sudah terkenal memiliki kebudayaan, mereka memiliki tradisi lisan maupun tulisan. Bahkan orang bugis memiliki salah satu epos terbesar di dunia yang lebih panjang daripada epos Mahabarata yakni cerita tentang lagaligo yang sampai saat ini sering dibaca dan disalin ulang dan menjadi budaya yang mengakar pada masyarakat bugis.
Bagi suku-suku lain, orang Bugis sering dianggap sebagai orang yang berkarakter keras dan sangat menjunjung tinggi kehormatan. Bila perlu demi kehormatan, orang bugis bersedia melakukan kekerasan. Namun dibalik sifat itu semua, sebenarnya orang bugis adalah orang yang sangat ramah, menghargai orang lain dan menjunjung tinggi kesetiakawanan, bahkan bersedia menjadi bumper demi kesetiakawanan. (itulah mungkin sebabnya mengapa Golkar pada masa pemerintahan SBY-JK sering menjadi Bumper karena ia dipimpin oleh seorang yang sangat berwatak bugis).

Meskipun sebagai bangsa perantau, orang bugis selalu membawa identitas bugisnya di mana mana. Beberapa orang-orang di singapura dan Malaysia meskipun sudah menjadi warga Negara sana, dan mereka sudah bergaya hidup modern tapi mereka selalu mengaku sebagai orang Bugis meskpiun sudah merupakan keturunan yang kesekian dan belum pernah menginjak tanah bugis.

Begitu juga dengan saya, selama terjun ke dunia politik saya tidak pernah melepas karakter bugis saya yang blak-blakan, dan sering dianggap kurang santun bagi mereka yang sangat menghargai etiket. Tapi itulah saya, saya sering mengatakan kepada teman-teman, jangan paksa saya jadi orang jawa. Menjadi orang bugis dan berkarakter keras kadang berguna juga. Waktu menyelesaikan kasus ambalat untuk pertama kalinya, saat itu saya menggunakan gaya diplomasi ala Bugis yang anda tidak dapatkan dalam literature strategi diplomasi. Waktu itu saya ke Malaysia bertemu dengan Perdana Menteri yaitu Najib. Saat itu ia ditemani oleh 5 Menteri dan saya juga ditemani oleh 5 Menteri plus Dubes kita. Saat pertemuan itu

saya bilang ke Najib “ Najib…Ambalat itu masalah sensitive, itu bisa membuat kita perang. Kalau kita perang, belum tentu siapa yang menang. Tapi satu hal yang mesti you ingat, di Malaysia ini ada 1 juta orang Indonesia, 1000 orang saja saya ajari Bom, dan mereka Bom ini gedung-gedung di Malaysia maka habislah kalian”
Saat itu pak Najib kaget, dia sadar sebagai sesama Bugis, ancaman saya bukan hanya gertakan belaka. Dia bilang ke saya “pak Jusuf, tidak bisa begitu”
Saya bilang ke dia “makanya mari kita berunding, terus terang saya kadang tidak suka sama you punya Negara, Buruh-buruh Ilegal dari Indonesia ditangkapi kayak binatang, sedangkan majikannya tidak
ditangkap, padahal kalau ada buruh Ilegal maka tentu ada juga majikan illegal. Setiap ada Ilegal loging pasti orang Malaysia yang ambil, begitu ada kebakaran hutan mereka marah-marah, padahal hampir sepanjang tahun mereka menghirup udara segar yang dihasilkan oleh hutan-hutan di Indonesia, satu bulan saja ada kabut asap mereka marah marah. Dan juga setiap ada ledakan Bom di Indonesia selalu orang Malaysia dalangnya”

Waktu itu Pak Dubes langsung bisiki saya “Pak, Ini sepertinya sudah melewati batas diplomasi”
Saya langsung bilang ke dia “kau kan Dubes, yah sudah kau perbaikilah mana yang lewat”
Setelah itu, untuk menunjukkan ketidak sukaan saya kepada Malaysia saya menolak menginap di Kuala Lumpur, saya bilang saya mau menginap di kampong Bugis di Johor sana. Akhirnya pak Najib ikut juga saya ke sana. Di atas mobil, dalam perjalanan menuju Johor Pak Najib Bilang ke saya “ Kayaknya bapak terlalu keras tadi waktu berunding”
Saya cuman bilang ke dia “kamu kan juga orang Bugis, kenapa kau tidak keras juga tadi?” mendengar itu dia cuman ketawa saja.
Malamnya di Johor, kita makan malam dan nyanyi-nyanyi, mengundang Siti Nurhaliza, sampai jam 1 malam dan kita ngantuk. Keesokan paginya kita main golf, dan saat itu juga masalah Ambalat selesai. Dengan gaya Diplomasi ala Bugis, saya tidak perlu memakai bahan yang sudah disiapkan oleh DEPLU semua spontanitas saja. Dan sampai sekarang kalau ada tentara Malaysia datang lagi di Ambalat, saya tinggal telpon Najib “Hey Najib, jangan lagi kau kirim, you punya tentara ke Ambalat, kita bisa perang nanti”
Demikan juga waktu saya menyuruh EXXON supaya angkat kaki dari Blok Natuna. Waktu itu saya dikejar oleh orang-orang EXXON mereka mau melobi. Tapi saya selalu menolak ketemu dan menghindar. Saya ke Riyadh, mereka mau nyusul ke sana, saya ke Jedah mereka mau datang, tapi saya tolak karena saya mau ibadah dan sampai di belahan bumi manapun mereka kejar saya. Akhirnya waktu itu Di Makassar karena melihat kegigihan mereka, saya suruh mereka datang. Dan datanglah itu Chairman Exxon mereka 4 oran
g dan saya hanya ditemani oleh Sekretaris saya.

Saat pertemuan di Hotel Sahid Makassar, orang Exxon bilang ke saya, “Mr.Vice President, anda kalau membatalkan kontrak dengan EXXON, maka besok akan saya SU”
Saya langsung pukul meja saya dan bilang ke dia “kalau kau berani SU, maka saya akan SU kau 10 kali, Its my country, not your country, jangan kau datang ke sini mau ancam-ancam saya”.

Saat itu dia langsung minta maaf. Dan saat itu Blok Natuna kembali ke tangan kita pengelolaannya,
meskipun pada akhirnya lepas lagi ke EXXON karena wewenang saya dicabut dan control tidak lagi berada di tangan saya. Apa pun itu, untuk kehormatan bangsa, kita jangan mau didikte oleh bangsa lain, kalau mereka keras, maka kita balas lebih keras lagi. Jangan pernah takut kita akan dibuat susah dan macam-macam. Selama kita yakin Tuhan selalu bersama kita, maka bangsa lain tidak akan bisa berbuat apa-apa terhadap kita.


http://umum.kompasiana.com/2009/08/04/diplomasi-ala-bugis/