Kamis, 29 Maret 2012

IMPLIKASI, PELUANG DAN TANTANGAN KENAIKAN HARGA BBM

Rencana kenaikan BBM oleh pemerintah pada 1 April 2012 ini, menimbulkan pro kontra diberbagai kalangan kelompok masyarakat. Bagi ibu-ibu rumah tangga, jelas kenaikan BBM berdampak pada naiknya biaya rumah tangga. Bagi sopir angkot, kenaikan BBM akan menaikkan tarif penumpang. Bagi pengusaha, kenaikan BBM akan menambah biaya produksi. Bagi nelayan, kenaikan BBM akan berdampak naikknya harga ikan. Demikian juga bagi sekelompok mahasiswa dan kalangan akademis yang mewakili kelompok “idealis”, menyikapi kenaikan BBM juga ada yang pro dan kontra. Bagi yang pro, dituduh menyakiti hati rakyat. Bagi yang kontra, dituduh mendukung rakyat. Terlepas dari pro dan kontra, yang jelas masing-masing kelompok mempunyai alasan yang dijadikan “justifikasi”nya.

Bagi pemerintah, kenaikan harga BBM ibarat makan buah simalakama. Dinaikkan, ibu mati. Tidak dinaikkan, bapak mati. Berikut analisis mengenai implikasi, peluang dan tantangan kenaikan harga BBM.

IMPLIKASI
Secara teori, kenaikan harga BBM akan memicu kenaikan harga diberbagai sektor. Alasannya simple, karena biaya transportasi akan mempengaruhi harga pokok produk. Dimana salah satu komponen harga pokok produk adalah biaya bahan baku. Semakin tinggi biaya transportasi (pengiriman) yang disebabkan kenaikan harga BBM, akan menyebabkan semakin tingginya harga bahan baku. Harga bahan baku yang tinggi, akan menyebabkan harga produk juga semakin tinggi. Siapa yang memikul harga produk ? Konsumen. Dalam hal ini rakyat.
Kesimpulannya, dengan kenaikan harga BBM, rakyat yang merasakan dampaknya. Harga-harga semakin tinggi.Terjadilah inflasi. Kenaikan harga-harga yang tidak diimbangi dengan kenaikan pendapatan, akan menyebabkan turunnya daya beli masyarakat. Jika daya beli masyarakat turun, pengusaha (investor) enggan untuk memproduksi barang dan jasa. Akibatnya ekonomi mengalami kelesuan.

Disatu sisi, kenaikan BBM bertujuan untuk mengurangi subsidi APBN. Subsidi yang semula untuk BBM dikurangi, dialokasikan untuk pembangunan di sector lainnya. Dampaknya pembangunan di sector non migas, semakin berkembang. Misal sektor pertanian. Mengapa sector ini ? Karena sector inilah yang sangat mungkin, dipacu dan diintensifkan pembangunannya di Negara agraris seperti Indonesia ini. Banyaknya jumlah penduduk dan luasnya lahan yang ada di bumi pertiwi, inilah yang paling mungkin dan berpotensi untuk dikembangkan. Inilah keunggulan kompetitif yang kita miliki. Jutaan petani akan menggarap jutaan lahan diatas “bumi’nya sendiri. Dengan dana pembangunan yang dialokasikan, dapat memacu petani untuk giat bercocok tanam, sehingga suatu saat dapat diharapkan kesejahteraan petani (rakyat) akan meningkat. Dengan berlimpahnya hasil bumi yang ada di Indonesia, harga pangan semakin murah, kelebihannya dapat di jual ke Negara lain. Dari hasil penjualan inilah yang mendatangkan keuntungan. Keuntungan inilah yang menambah pundi-pundi pendapatan Negara. Semakin banyaknya pundi-pundi pendapatan, semakin memperbesar kesempatan untuk memacu peningkatan kesejahteraan rakyat disektor lainnya.
Bagaimana dengan sector selain pertanian ? Misal kesehatan, pendidikan, lingkungan, energy dll. Apakah sector tersebut tidak layak mendapat peningkatan subsidi dari kenaikan harga BBM ? Jawabnya tentu layak. Namun skala prioritaslah yang akan menentukannya.

Disinilah peran pemerintah untuk “arif dan bijak”, mana yang mendapat prioritas pertama dan mana prioritas kedua dstnya. Yang jelas “kearifan dan keadilan” pemerintah harus dilandasi “niat”nya semata-mata murni untuk kepentingan rakyat. Bukan sekedar kepentingan politik, bahkan “dagelan” segelintir politikus. Agar buah simalakama yang harus dimakan, tidak menimbulkan korban dipihak ibu maupun dipihak bapak.

PELUANG
Dibalik implikasi dan dampaknya, ada peluang dan kesempatan yang patut kita analisis bersama-sama. Peluang dan kesempatan itu begitu banyak dan terbuka lebar untuk direalisasikan.
1. Kesempatan untuk tidak “menggantungkan hidup” dengan BBM. Sebab suatu saat, BBM ini akan habis. Sebab BBM ini biayanya sangat mahal dibandingkan dengan alternative energy lainnya. Masih banyak sumber energy yang dapat diberdayakan, seperti matahari, angin, panas bumi, batu bara, gas dll. Alam Indonesia begitu luar biasa, lengkap dan menakjubkan. Negeri yang begitu kaya dengan sumber daya alam ini, harus mendapat sentuhan-sentuhan kreatif dari anak bangsa, agar kekayaan ini tidak lari dan dikuasai oleh Negara asing. Maka setiap adanya kenaikan harga BBM dapat dijadikan momen untuk “melaunch” ide kreatif penggunaan energy alternative selain BBM. Mulailah berganti dari mesin yang menggunakan BBM ke mesin energy alternative.
2. Kesempatan untuk memiliki dan menguasi sendiri semua potensi sumber daya alam sendiri. Kita tahu bahwa sebagian besar perusahaan-perusahaan pengolah sumber daya alam di Indonesia dikuasai oleh asing. Kita ambil contoh Exxon Mobile di Aceh dan Freeport di Irian Jaya. Momen kenaikan harga BBM dapat dijadikan untuk “merebut” kekayaan kita dari asing. Sehingga kita menjadi Negara yang merdeka dan tidak bergantung dengan Negara lain.
3. Kesempatan untuk mengoptimalkan “modal” bangsa. Sebagai Negara agraris, tentu modal utamanya lahan yang luas dan subur dan sebagai Negara bahari, tentu memiliki modal laut yang luas dan sumber daya manusianya yang terampil baik di bidang pertanian maupun kelautan. Kedua modal ini sudah ada, tidak perlu beli. Tinggal mengelolanya secara “kreatif” agar segenap modal itu dapat dikelola untuk kemakmuran bangsa.
4. Dari sisi politis, peluang yang ada adalah bersatunya segenap komponen politik (mulai dari partai politik dan politisinya) untuk menjadikan momen kenaikan harga BBM ini membentuk “koalisi bangkit Indonesia”. Koalisi ini bergerak dalam tataran politis untuk mendukung “gerakan kembali optimalkan potensi bangsa”. Lupakan perbedaan, tapi satukan tujuan “optimalkan potensi bangsa”, yaitu kembangkan energy alternative, rebut kembali “perusahaan-perusahaan asing”, kelola “tanah dan laut” yang melimpah.
Maka “kreatif” melihat peluang kemudian bersama-sama mengambil “cangkul dan parang” untuk mulai bekerja mengelola segala peluang tersebut menjadi sumber kemakmuran rakyat.

TANTANGAN
Melihat peluang yang demikian besar, kita juga perlu memeriksa, apakah kita benar-benar sudah siap ? Inilah tantangan besarnya.
1. Peningkatan sumber daya manusia yang handal dan terampil menciptakan energy alternative. Disinilah peran dunia pendidikan, mulai dari tingkat pendidikan dasar hingga perguruan tinggi, dituntut untuk “profesional’ menyediakannya. Tidak hanya sekedar mengelola pendidikan yang “ala kadar dan sekedar” saja, tapi benar- benar menjadi institusi yang melahirkan pribadi-pribadi unggul dan kreatif. Tidak hanya sekedar “kejar tayang” jumlah lulusan dan ajang “cari ijazah” saja untuk peningkatan karir, namun benar-benar menjadi institusi yang dapat dibanggakan untuk bersaing menjadi “yang terbaik” dalam melahirkan insan-insan terdidik.
2. Peningkatan kualitas politisi, bukan sekedar politisi yang “dermawan”, namun politisi yang “negarawan”. Politisi “dermawan” adalah politisi yang meletakkan kepentingan pribadinya karena dia ingin dikenal dan ingin balas budi kepada konstituennya. Sedangkan politisi “negarawan” adalah politisi yang meletakkan kepentingan Negara diatas kepetingan pribadi dan golongannya. Politisi negarwan “melihat” problematika bukan atas kepentingan “kecil” namun untuk kepentingan yang “besar”. Istilahnya “helicopter view”. Bukan melihat persoalan hanya sebatas kepentingan pribadi dan golongannya, namun harus melihat kepentingan untuk kemaslahatan Negara.
Politisi negarawan berpikir :
1. “Bagaimana caranya “asset” Negara dapat dikuasasi sendiri bukan dikuasai oleh Negara lain ?”
2. “Bagaimana “modal” tanah dan laut bangsa, dikelola untuk kemakmuran Negara bukan untuk dibagi-bagi ?”
3. “Bagaimana anggaran yang ada, digunakan semakmur-makmurnya untuk rakyat ?”
Sedangkan politisi dermawan berpikir :
1. “Bagaimana caranya “asset” Negara jatuh dan dikuasi oleh asing?”
2. “Bagaimana caranya “modal” tanah dan laut bangsa, dikelola dan dibagi-bagi ?”
3. “Bagaimana anggaran yang ada, dibagi-bagi untuk pribadi dan partai ?“
Itulah perubahan “mind set”. Jika “mind set” telah berubah, sama, satu untuk kepentingan Negara, mudahlah mengatur Negara ini. Namun jika “mind set” politisi masih sama, hanya untuk “bagi-bagi kue”, maka runyamlah mengatur Negara.

Mungkin inilah yang dirasakan oleh bapak SBY. Dilema antara menaikkan atau membiarkan harga BBM seperti apa adanya. Yang pasti, mau naik atau tidak naik harga BBM, akan mudah kita sikapi jika persoalan ini dilihat bukan dari sisi politis. Menolak, tahu alasannya. Setuju, tahu alasannya. Jangan asal menolak dan juga jangan asal menerima.

Batam, 23 Maret 2012

Cahyo Budi Santoso

Tidak ada komentar:

Posting Komentar