Rabu, 08 September 2010

BERHARI RAYA DENGAN SIAPA

Berhari Raya Dengan Siapa?

Posted: 04 Sep 2010 05:00 PM PDT

Sudah beberapa tahun ini, sering kali kaum muslimin di Indonesia tidak
merasakan berhari raya bersama-sama. Mungkin dalam berpuasa boleh
berbarengan, namun untuk berhari raya kadang kaum muslimin berbeda
pendapat. Ada yang manut saja dengan keputusan Departemen Agama RI
(pemerintah). Ada pula yang manut pada organisasi atau kelompok
tertentu. Ada juga yang mengikuti hari raya di Saudi Arabia karena di
sana sudah melihat hilal. Ada pula yang berpegang pada hasil hisab
dari ilmu perbintangan. Ada pula yang semaunya sendiri kapan berpuasa
dan berhari raya, mana yang berhari rayanya paling cepat itulah yang
diikuti. Lalu manakah yang seharusnya diikuti oleh seorang muslim?
Berikut kami bawakan beberapa fatwa Komisi Tetap Urusan Riset dan
Fatwa Kerajaan Arab Saudi (Al Lajnah Ad Da’imah Lil Buhuts Al ‘Ilmiyah
wal Ifta’).


[Fatwa Pertama - Sekelompok Orang Berhari Raya Sendiri]

Fatawa no. 10973

Soal: Di negeri kami ada sekelompok saudara kami yang berpegang teguh
dengan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berupa memelihara
jenggot. Akan tetapi, mereka ini menyelisihi kami dalam beberapa
perkara. Di antaranya adalah dalam berpuasa Ramadhan. Mereka enggan
untuk berpuasa sampai mereka sendiri dengan mata kepala melihat hilal
(bulan sabit tanggal satu kalender Hijriah -pent). Pernah suatu waktu,
kami memulai puasa Ramadhan satu atau dua hari sebelum mereka.
Terkadang pula mereka berhari raya satu atau dua hari setelah kami
merayakan Idul Fitri. Ketika kami bertanya pada mereka tentang puasa
pada hari raya, mereka malah menjawab, “Kami tidak mau berhari raya
dan tidak mau berpuasa sampai kami melihat sendiri hilal dengan mata
kepala kami.” Mereka beralasan dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam, “Berpuasalah karena melihat hilal dan berhari rayalah
karena melihatnya“. Akan tetapi, mereka tidaklah menentukan ru’yah
dengan alat tertentu sebagaimana yang kalian ketahui. Mereka juga
menyelisihi kami dalam shalat ‘ied, mereka tidak shalat kecuali satu
hari setelah ‘ied sesuai dengan ru’yah yang mereka lakukan. Semacam
ini pula terjadi ketika Idul Adha, mereka menyelisihi kami dalam
memulai menyembelih hewan kurban dan wukuf di Arofah. Mereka baru
merayakan Idul Adha setelah dua hari kami merayakannya. Mereka
tidaklah menyembelih hewan kurban kecuali setelah seluruh kaum
muslimin menyembelih. Mereka juga shalat di masjid yang ada kuburan
lalu mereka mengatakan bahwa tidaklah diharamkan shalat di masjid yang
ada kuburan. Semoga Allah membalas amal kebaikan kalian.

Jawab: Wajib bagi mereka untuk berpuasa dan berhari raya sebagaimana
manusia pada umumnya. Hendaklah pula mereka melaksanakan shalat ‘ied
bersama dengan kaum muslimin yang lainnya yang berada di negeri
mereka. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ والإِفْطَارُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ
وَالأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ

“Awal puasa adalah hari yang kamu semua memulai puasa. Idul fitri
adalah hari yang kamu semua merayakan idul fitri. Idul Adha adalah
hari yang kamu semua merayakan idul adha.” (HR. Abu Daud, At Tirmidzi,
Ibnu Majah. Dishohihkan oleh Syaikh Al Albani dalam As Silsilah Ash
Shohihah no. 224)

Semoga Allah memberi kita taufik. Shalawat dan salam kepada Nabi kita
Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Al Lajnah Ad Da’imah Lil Buhuts Al ‘Ilmiyah wal Ifta’

Anggota: Abdullah bin Ghodyan
Wakil Ketua: Abdur Rozaq ‘Afifi
Ketua: ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz

[Fatwa Kedua - Menentukan Hari Raya dengan Ilmu Hisab]

Pertanyaan Kedua, Fatawa no. 2036

Soal: Terdapat perselisihan yang cukup sengit di antara ulama kaum
muslimin mengenai penentuan awal puasa Ramadhan dan Idul Fitri.
Sebagian dari mereka beramal dengan hadits, “Berpuasalah karena
melihat hilal, begitu pula berhari rayalah karena melihatnya“. Namun,
ulama lainnya berpegang teguh dengan pendapat ahli falak (ahli ilmu
perbintangan). Para ulama ini mengatakan, “Sesungguhnya ahli falak
adalah pakar dalam ilmu perbintangan yang memungkinkan mereka untuk
mengetahui awal bulan qomariyah (tanggal 1 bulan hijriyah).” Oleh
karena itu, para ulama tadi mengikuti kalender (sesuai dengan ilmu
perbintangan).

Jawab: Pertama, pendapat yang kuat yang wajib diamalkan adalah yang
sesuai dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ ، وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ ، فَإِنْ غُمَّ
عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا العِدَّةَ

“Berpuasalah karena melihat hilal, begitu pula berhari rayalah karena
melihatnya. Apabila kalian tertutup mendung, genapkanlah bulan
tersebut” (HR. Bukhari dengan berbagai lafazh). Hadits ini menunjukkan
bahwa awal dan akhir bulan Ramadhan ditentukan dengan melihat hilal.
Dan syariat Islam yang dibawa oleh Nabi kita Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam adalah umum tetap kekal dan berlaku hingga hari
kiamat.

Kedua, Allah ta’ala tentu mengetahui apa yang telah dan akan terjadi,
ini berarti Allah juga mengetahui nanti akan muncul ilmu falak dan
ilmu-ilmu yang lainnya. Namun, Allah ta’ala berfirman,

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

“Karena itu, barangsiapa di antara kamu menyaksikan bulan (di negeri
tempat tinggalnya), maka hendaklah ia berpuasa pada bulan tersebut.”
(QS. Al Baqarah [2]: 185)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan maksud ayat ini
kepada kita,

صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ ، وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ

“Berpuasalah karena melihat hilal, begitu pula berhari rayalah karena
melihatnya.” (HR. Bukhari)

Dari penjelasan ini menunjukkan bahwa awal dan akhir puasa Ramadhan
ditentukan dengan melihat hilal dan tidaklah dikaitkan dengan ilmu
hisab/ilmu perbintangan, padahal Allah telah mengetahui nanti ada
ilmu perbintangan semacam ini.

Oleh karena itu, wajib bagi setiap muslim kembali dan percaya pada
syariat Allah yang disampaikan melalui lisan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam yaitu menentukan awal dan akhir puasa dengan melihat
hilal. Pendapat inilah sebagaimana ijma’ (kesepakatan) dari para
ulama. Barangsiapa yang menyelisihi dalam hal ini dan beralih kepada
ilmu hisab, maka perkataannya syadz (pendapat yang nyleneh) dan
pendapat ini tidaklah perlu diperhatikan.

Semoga Allah memberi kita taufik. Shalawat dan salam kepada Nabi kita
Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Al Lajnah Ad Da’imah Lil Buhuts Al ‘Ilmiyah wal Ifta’

Anggota: Abdullah bin Ghodyan
Wakil Ketua: Abdur Rozaq ‘Afifi
Ketua: ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz

[Fatwa Ketiga - Perbedaan Penentuan Hari Raya Hendaknya Dikembalikan
pada Keputusan Pemerintah]

Fatawa no. 388

Soal: Bagaimana menurut Islam mengenai perbedaan kaum muslimin dalam
berhari raya Idul Fitri dan Idul Adha? Mengingat jika salah dalam
menentukan hal ini, kita akan berpuasa pada hari yang terlarang (yaitu
hari ‘ied) atau akan berhari raya pada hari yang sebenarnya wajib
untuk berpuasa. Kami mengharapkan jawaban yang memuaskan mengenai
masalah yang krusial ini sehingga bisa jadi hujah (argumen) bagi kami
di hadapan Allah. Apabila dalam penentuan hari raya atau puasa ini
terdapat perselisihan, ini bisa terjadi ada perbedaan dua sampai tiga
hari. Jika agama Islam ini ingin menyelesaikan perselisihan ini, apa
jalan keluar yang tepat untuk menyatukan hari raya kaum muslimin?

Jawab: Para ulama telah sepakat bahwa terbitnya hilal di setiap tempat
itu bisa berbeda-beda dan hal ini dapat diketahui dengan pasti secara
inderawi dan logika. Akan tetapi, para ulama berselisih pendapat
mengenai teranggapnya atau tidak hilal di tempat lain dalam menentukan
awal dan akhir Ramadhan. Dalam masalah ini ada dua pendapat. Pendapat
pertama adalah yang menyatakan teranggapnya hilal di tempat lain dalam
penentuan awal dan akhir Ramadhan walaupun berbeda matholi’ (wilayah
terbitnya hilal). Pendapat kedua adalah yang menyatakan tidak
teranggapnya hilal di tempat lain. Masing-masing dari dua kubu ini
memiliki dalil dari Al Kitab, As Sunnah dan Qiyas. Dan terkadang dalil
yang digunakan oleh kedua kubu adalah dalil yang sama. Sebagaimana
mereka sama-sama berdalil dengan firman Allah,

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

“Karena itu, barangsiapa di antara kamu menyaksikan bulan (di negeri
tempat tinggalnya), maka hendaklah ia berpuasa pada bulan tersebut.”
(QS. Al Baqarah [2]: 185)

Begitu juga firman Allah,

يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ

“Mereka bertanya kepadamu tentang hilal (bulan sabit). Katakanlah:
“Hilal (bulan sabit) itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan
(bagi ibadat) haji.” (QS. Al Baqarah [2]: 189)

Mereka juga sama-sama berdalil dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ ، وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ

“Berpuasalah karena melihat hilal, begitu pula berhari rayalah karena
melihatnya.” (HR. Bukhari)

Perbedaan pendapat menjadi dua kubu semacam ini sebenarnya terjadi
karena adanya perbedaan dalam memahami dalil. Kesimpulannya bahwa
dalam masalah ini masih ada kelapangan untuk berijtihad. Oleh karena
itu, para pakar fikih terus berselisih pendapat dalam masalah ini dari
dahulu hingga saat ini.

Tidak mengapa jika penduduk suatu negeri yang tidak melihat hilal pada
malam ke-30, mereka mengambil ru’yah negeri yang berbeda matholi’
(beda wilayah terbitnya hilal). Namun, jika di negeri tersebut terjadi
perselisihan pendapat, maka hendaklah dikembalikan pada keputusan
penguasa muslim di negeri tersebut. Jika penguasa tersebut memilih
suatu pendapat, hilanglah perselisihan yang ada dan setiap muslim di
negeri tersebut wajib mengikuti pendapatnya. Namun, jika penguasa di
negeri tersebut bukanlah muslim, hendaklah dia mengambil pendapat
majelis ulama di negeri tersebut. Hal ini semua dilakukan dalam rangka
menyatukan kaum muslimin dalam berpuasa Ramadhan dan melaksanakan
shalat ‘ied.

Semoga Allah memberi kita taufik. Shalawat dan salam kepada Nabi kita
Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Al Lajnah Ad Da’imah Lil Buhuts Al ‘Ilmiyah wal Ifta’

Anggota: Abdullah bin Mani’
Wakil Ketua: Abdullah bin Ghodyan
Ketua: Abdur Rozaq ‘Afifi

Itulah beberapa fatwa mengenai bagaimana sebaiknya kita berhari raya.
Kesimpulan dari penjelasan di atas:

Penentuan hari raya bukanlah urusan pribadi atau kelompok, sehingga
keputusan mengenai hal ini dikembalikan kepada pemerintah dan jamaah
kaum muslimin.
Kita diperintahkan untuk melaksanakan puasa dan hari raya bersama
dengan pemerintah dan jamaah kaum muslimin sehingga syi’ar Islam ini
tampak dan tidak tampak perpecahan di tengah-tengah umat.
Penentuan hari raya tidaklah tepat menggunakan ilmu hisab karena kita
diperintahkan untuk menentukan awal bulan qomariyah dengan ru’yah.
Hendaklah semua orang memahami bahwa masalah penentuan hari raya
adalah masalah yang sudah terdapat perselisihan sejak dahulu di
kalangan ulama, maka hendaklah perselisihan ini tidak memecah belah
kaum muslimin. Hendaklah semuanya memahami bahwa penyatuan kalimat dan
barisan adalah prinsip penting dalam agama ini.
15 Ramadhan 1429 H

Muhammad Abduh Tuasikal
Yang menginginkan umat ini bersatu di atas kebenaran

Tidak ada komentar:

Posting Komentar