Jumat, 10 September 2010

ZAKAT MELEDAK DAN LEDAKAN ZAKAT

Dipublikasi di Batam Pos edisi 8 September 2010

Bicara zakat, tidak bisa kita lepaskan dari pembicaraan mengenai how to manage, pengelolaan zakat. Di Indonesia pengelolaan zakat telah diatur di dalam UU No.38 Tahun 1999. Dalam UU ini, pengelolaan zakat dilakukan oleh negara (BAZ) dan masyarakat (LAZ). BAZ dan LAZ dapat melakukan pengelolaan zakat sesuai dengan tingkatannya. Harapan dan cita-cita besar akan pengelolaan zakat di Indonesia yang semakin baik, secara terus menerus dievaluasi dan disempurnakan. Salah satu harapan dan cita-cita besar tersebut adalah dapat mengatasi/mengurangi masalah kemiskinan. Pengelolaan zakat yang baik tidak dapat dipisahkan dari pemahaman mengenai 2 hal mendasar, yaitu kemakmuran dan nilai.

Zakat adalah simbol kemakmuran
Mengelola zakat berarti merancang sebuah kemakmuran. Kemakmuran adalah suatu keadaan dimana seluruh rakyatnya telah dalam kondisi sejahtera. Tingkat kemakmuran dan kesejahteraan dapat diukur dari tingkat daya (kemampuan) beli untuk memenuhi kebutuhan konsumsinya. Semakin makmur dan sejahtera berarti semakin tinggi kemampuan untuk memenuhi kebutuhan konsumsinya. Ketidakmampuan seseorang untuk memenuhi kebutuhan konsumsinya sering dikatakan sebagai ketidaberdayaan (baca : kemiskinan). Maka fokus dalam pengelolaan zakat adalah bagaimana mengatasi (baca : merubah) dari kondisi tidak berdaya menjadi berdaya. Dari kondisi tidak makmur menjadi makmur. Itulah esensi zakat sebagai pengejawantahan makna hablumminnas (hubungan dengan sesama manusia).

Merancang kemakmuran berarti merancang perubahan. Perubahan dari suatu kondisi tidak berdaya menjadi kondisi penuh dengan berdaya (bermartabat). Dari kondisi miskin menjadi kaya, kondisi bodoh menjadi pintar, kondisi terbelakang menjadi kondisi maju. Untuk merancang perubahan ini bukan hal mudah. Berbagai problema “ketidakberdayaan” dan kemiskinan antara lain kebodohan, kultur/budaya, kebiasaan, cara pandang/paradigma sangat begitu komplek. Oleh karena itu perlu pengelolaan, perancangan dan perencanaan yang baik dengan dukungan SDM (orang-orang) yang berkualitas dan terampil dalam masalah “ketidakberdayaan” dan kemiskinan, juga hal yang tidak kalah pentingnya adalah dukungan dana masyarakat. Salah satu sumber dana masyarakat yang cukup signifikan dan sesuai dengan semangat dan hakekatnya adalah dana zakat. Dana zakat hakekatnya adalah untuk merubah kondisi tidak mampu menjadi mampu.

Dengan demikian satu sisi zakat menyentuh (baca : bicara) sisi pemberdayaan kemiskinan, disisi lain ternyata zakat menyentuh sisi kemakmuran. Ketika suatu masyarakat semuanya sudah dalam kondisi berdaya, maka itulah apa yang diharapkan dan dicita-citakan pengelolaan zakat telah terwujud yaitu kemakmuran. Salah satu tanda kemakmuran adalah berlimpahnya dana zakat di Baitul Maal (BAZ dan LAZ). Karena pada saat itu, semua orang telah berdaya, telah berlebihan dan telah mampu. Maka mengeluarkan harta sebagai kewajiban zakat, bukanlah hal yang sulit/masalah. Justru disaat itu, orang-orang berlomba-lomba untuk mengisi Baitul Maal. Oleh karena itu zakat adalah simbol kemakmuran. Dengan semakin makmur, sesungguhnya semakin banyak dana zakat yang terhimpun.

Zakat berarti mengelola nilai (value).
Mengelola zakat berarti mengelola nilai (value). Nilai (value) adalah sesuatu yang abstract (tidak berwujud). Oleh karena itu mengelola zakat berbeda dengan mengelola perusahaan yang menghasilkan barang. Lebih mudah mengelola perusahaan karena barang hasil produksi jelas dapat dilihat, dipegang dan bisa langsung dimanfaatkan. Namun zakat adalah nilai, sebuah produk yang tidak dapat dilihat, dipegang dan bisa langsung dirasakan manfaatnya. Oleh karena itu, bicara zakat sebagai nilai tidak dapat dilepaskan dengan masalah keimanan.

Urusan zakat berkaitan masalah harta (uang). Secara normatif, jika kita menunaikan kewajiban zakat maka jumlah uang kita akan berkurang. Padahal makna kata zakat adalah berkembang/bertambah. Maka dengan penunaian zakat hakikatnya bukan mengurangi harta namun justru menambah keberkahan harta. Disinilah tantangan dalam pengelolaan zakat, bagaimana memahamkan kepada muzaki bahwa sesuatu yang dikeluarkan itu justru akan menambah bukan mengurangi. Maka bicara zakat, juga membicarakan mengenai proses memahamkan (sosialisasi). Dengan sosialisasi yang baik, diharapkan tumbuh pemahaman yang baik. Dengan pemahaman yang baik, tumbuh keimanan dan akhirnya dengan keimanan yang baik, tumbuh kesadaran akan pentinya zakat.

Zakat sebagai nilai (value), bukan semata-mata menyentuh sisi muzaki-nya saja (pemberi manfaat), namun juga harus menyentuh pada sisi mustahik-nya (penerima manfaat). Semangat zakat adalah perubahan. Perubahan baik secara jasmani maupun rohani. Bukan semata-mata merubah dari yang tidak mampu secara financial menjadi mampu financial, tetapi zakat juga harus merubah dari “nilai”/tabiat/karakter yang tidak baik menjadi baik. Dari seseorang yang tidak pernah sholat menjadi taat sholat, dari yang suka berbohong menjadi jujur, dari yang tidak amanah menjadi amanah. Itulah semangat zakat, perubahan. Oleh karena itu, tantangan bagi pengelolaan zakat adalah bagaimana caranya agar zakat yang diberikan kepada penerima manfaat mampu merubah akhlak/”nilai” dalam pribadi mustahik.

ZAKAT MELEDAK
Ramadhan adalah bulan pelipatgandaan amal kebajikan. Pada bulan ini ramai orang berlomba-lomba memberikan kebaikan, baik dalam bentuk materi maupun non materi. Termasuk dalam urusan penunaian zakat. Pada bulan ini penerimaan dana zakat begitu “fantastis”, luar biasa besarnya. Sehingga kondisi ini dikatakan zakat meledak. Fenomena ini terjadi rutin setiap tahun, karena memang kebiasaan ini berlangsung secara turun temurun. Orang Islam sejak dari kecil mengerti bahwa Ramadhan adalah bulan kewajiban untuk menunaikan zakat. Sehingga banyak pengelola zakat (amil) musiman bermunculan dimana-mana. Tujuannya untuk memudahkan penerimaan dan penyaluran zakat. Dengan “usaha ala kadarnya” amil musiman mengelola zakat dari muzaki. Mungkin ada sebagian pengelola zakat yang benar-benar all out melakukan upaya-upaya mendongkrak tingkat penghimpunan zakat dan mengelola dalam bentuk program pemberdayaan. Namun jumlah pengelola yang demikian jika dibandingkan dengan total penerimaan dana yang terhimpun oleh amil musiman, jelas tidak ada artinya (tidak mempengaruhi secara signifikan).

Istilah zakat meledak berasal dari meminjam istilah “meledak” yang artinya suatu keadaan yang terjadi tanpa dapat dikendalikan. Zakat meledak berarti suatu kondisi dimana dana zakat terkumpul cukup signifikan yang dihasilkan dari kurangnya pengorganisasian yang baik. Sesuatu yang tidak diorganisasi dengan baik, akibatnya akan fatal. Ia akan berjalan tanpa tentu arah, menabrak sana sini, lepas kontrol (tiada kendali) yang mengarahkan. Ujung-ujungnya, pengelolaan zakat dipertanyakan. Sudahkah zakat di Indonesia dikelola dengan baik ?

Padahal kita tahu, masalah kemiskinan atau orang-orang miskin tidak hanya ada pada bulan Ramadhan saja, tapi setiap hari banyak terjadi diluar bulan Ramadhan. Masalah kemiskinan tidak mungkin diselesaikan dalam 1 bulan saja (pada Ramadhan), tapi penanganan kemiskinan ditangani by process secara konsisten dan serius, butuh waktu lama. Oleh karena itu perlu diciptakan upaya-upaya maksimal (terorganisasi dan terkendali dengan baik) agar zakat tidak sekedar meledak namun menjadi “ledakan zakat”.

LEDAKAN ZAKAT

Ledakan zakat adalah suatu kondisi dimana dana zakat yang terhimpun jumlahnya sangat signifikan, jauh melebihi jumlah kebutuhan dana yang dimanfaatkan untuk pengentasan kemiskinan, yang dicapai melalui kesengajaan upaya yang terorganisasi dan terkendali dengan baik. Dalam kondisi demikian, kondisi ini telah mengalami kemakmuran. Zakat nyata menjadi simbol kemakmuran.

Oleh karena itu, agar proses terjadinya kemakmuran cepat terjadi maka harus ada “kesengajaan” mengatur dan mengendalikan upaya-upaya terwujudnya ledakan zakat. Beberapa hal berikut adalah upaya-upaya yang dapat dilakukan :
1.Menumbuhkan kesadaran pemberi manfaat (muzaki)
Upaya menumbuhkan kesadaran muzaki dapat dilakukan melalui kegiatan sosialisasi dengan berbagai cara-cara yang inovatif. Keberhasilan memahamkan orang tentang zakat adalah tergantung dari kreatifnya kita “mengemas” zakat dengan bahasa komunikasi yang berempati dan fair value. Tema sosialisasi yang perlu diangkat adalah :
a. Semangat dan manfaat zakat
b. Menyalurkan zakat melalui lembaga (baitul maal)
Dengan tumbuhnya kesadaran yang baik dari para pemberi manfaat (muzaki) kepada lembaga (baitul maal) maka dana zakat dapat terkumpul secara konsisten, dengan demikian dapat dilaksanakan program-program pemberdayaan kepada kaum dhuafa secara lebih baik.

2.Mendorong terwujudnya Baitul Maal

Idealisme pengelolaan zakat yang baik dan optimal hanya dapat dilakukan melalui sebuah lembaga (amil). Inilah peran strategis amil dalam pengelolaan zakat sehingga jelas didalam QS At Taubah ayat 60 sebagai salah satu yang berhak menerima zakat. Urusan zakat adalah menyangkut hajat hidup orang banyak, maka pemerintah punya kewenangan untuk mengaturnya. Oleh karena itu pemerintah harus mempunyai Baitul Maal sebagai pusat pengorganisasian dan pengendalian zakat. Dalam prakteknya, Baitul Maal ini adalah Badan Amil Zakat (BAZ).

Kenyataan bahwa pengelolaan zakat juga dilakukan oleh masyarakat (LAZ) lebih didorong karena kurang percayanya masyarakat menyerahkan pengelolaan zakat kepada pemerintah. Disatu sisi peran ini cukup baik dalam dunia zakat, namun disisi lain memunculkan egoisme masing-masing lembaga. Oleh karena itu harus dilakukan upaya-upaya antara lain :
a. Menumbuhkan kepercayaan kepada pemerintah, dengan memilih orang-orang sebagai amil yang kompeten dan akhlak baik.
b. Menumbuhkan kesepahaman diantara lembaga pengelola zakat tentang pentingnya pengelolaan zakat yang satu. Satu koordinasi dan satu kendali dibawah baitul maal pemerintah.
Dengan adanyanya baitul maal diharapkan pengelolaan zakat dapat lebih efektif, terorganisasi dan terkendali dengan baik. Tidak ada lagi egoisme, yang ada sinergi bersama dalam pengelolaan zakat.

3.Menumbuhkan kesadaran penerima manfaat (mustahik)

Zakat sebagai simbol kemakmuran, bukan sekedar makmur secara materi namun juga makmur secara akhlak. Adanya perbaikan kualitas pribadi dari penerima manfaat (mustahik). Jika selama ini zakat hanya diberikan “hanya” untuk sekedar memenuhi kebutuhan materi mustahik, maka sekarang zakat harus sudah mulai menyentuh aspek kualitas akhlak. Dengan demikian dapat diharapkan akan tumbuh kesadaran dari mustahik tentang pentingnya akhlak dan kualitas ibadah yang baik dalam kehidupan sehari-hari.

Untuk menumbuhkan kesadaran ini, perlu upaya-upaya antara lain melalui bimbingan. Bimbingan yang diberikan dapat dilakukan dengan mendampingi mustahik didalam komunitasnya, dengan memberikan contoh dan bimbingan praktek keseharian, baik dalam hal ibadah maupun dalam hal ucapan dan perbuatan.

4.Mendorong peran pemerintah

Peran pemerintah melalui UU No.38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat sudah dirasa cukup baik untuk mendorong pengelolaan zakat di Indonesia. Ada beberapa peran pemerintah yang masih harus dilakukan, antara lain :
a. Merevisi UU No.38 tahun 1999 dengan beberapa masukan antara lain :
i. Adanya pasal tentang perintah mengumpulkan kepada pengelola zakat. Semangat perintah disini adalah untuk meningkatkan etos kerja amil dan muzaki. Amil tidak sekedar duduk saja (pasif) namun dituntut untuk proaktif mendatangi muzaki. Dengan adanya perintah ini, diharapkan meningkatkan produktiftas pengelola zakat disatu sisi dan sisi lain menjadi boomerang bagi muzaki apabila tidak menunaikan kewajiban zakatnya.
ii. Adanya pasal sanksi bagi muzaki dan mustahik. Salah satu upaya untuk menumbuhkan kesadaran bagi muzaki dan mustahik adalah dengan menerapkan sanksi. Dengan adanya sanksi ini diharapkan kesadaran muzaki dan mustahik semakin baik. Muzaki semakin sadar akan kewajibannya, mustahik sadar bahwa amanah dana zakat harus benar-benar dapat dipertanggungjawabkan.
b. Akreditasi lembaga pengelola zakat
Mengelola zakat berarti mengelola dana masyarakat, yang berarti mengelola dana sektor publik. Sehingga lembaga pengelola zakatnya dianggap sebagai lembaga sektor publik. Untuk itu agar pengelolaan dana publik tersebut dapat berjalan dengan baik, maka perlu keterlibatan masyarakat dalam pengawasannya. Keterlibatan masyarakat dalam pengawasan dapat dilakukan dengan memberikan “status” atas kinerja pengelolaan zakatnya. Pemberian “status” ini sering disebut dengan istilah akreditasi.
Akreditasi diberikan dengan mengikuti sejumlah indikator sebagai tolak ukur kinerja. Secara umum dapat dibedakan dalam 2 aspek yaitu aspek manajemen dan aspek syariah. Aspek manajemen berbicara mengenai system pengelolaan dana, seperti program kerja, perolehan dana, laporan keuangan, peningkatan kualitas SDM dll. Sedangkan aspek syariah berbicara mengenai aspek normatif keagamaan (apakah pengelolaan sesuai/menyimpang dari hukum Islam).

Dengan demikian akreditasi ini secara tidak langsung akan menjadi “sanksi” bagi lembaga pengelola zakat. Jika baik dalam pengelolaan, tentu akan mendapatkan pengakuan akreditasi yang baik (misal A). Namun sebaliknya, jika dalam pengelolaan tidak baik, akan mendapatkan pengakuan akreditasi yang tidak baik (misal C).
Dalam prakteknya belum ada mekanisme akreditasi ini. Kendala yang dihadapi adalah tidak adanya mekanisme pengukuran kinerja yang standard diantara pengelola zakat. Oleh karena itu, seiring dengan arah terwujudnya “ledakan zakat” maka perlu disusun standard pengukuran kinerja bagi pengelola zakat.

Dengan upaya-upaya diatas, diharapkan dapat semakin meningkatkan kualitas pengelolaan zakat di Indonesia sehingga harapan dan cita-cita besar pengelolaan zakat segera tercapai. Ihktiar kecil mewujudkan “ledakan zakat” harus dilakukan dan dikawal agar tidak menjadi “zakat meledak”. Mewujudkan ledakan zakat sesungguhnya mewujudkan kemakmuran.
Wallohu’alam

Batam, 12 Agustus 2010

Cahyo Budi Santoso

Identitas penulis
Nama : Cahyo Budi Santoso, SE
TTL : Kediri, 12 juni 1974
Pendidikan : S1 Manajemen
HP : 0811 7000040
Email : cafana_07@yahoo.com
Blog : http://cahyobudisantoso.blogspot.com
Kegiatan/aktivitas :
1. Pengamat sosial
2. Dosen Universitas Riau Kepulauan – Batam
3. Dosen Gici Business Scholl – Batam
4. Tutor Universitas Terbuka – Batam
5. Pengurus Wilayah Dewan Nasional Angkatan ’66 Provinsi Kepulauan Riau sebagai Bidang Hukum dan Advokasi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar