Sabtu, 27 Agustus 2011

OBAT SAKIT BANGSA



(Opini di Batam Pos edisi 29 Agustus 2011)

Saat sahur adalah saat yang tepat untuk berkumpul bersama keluarga. Biasanya kami sahur sambil menonton tayangan televisi. Sebuah stasiun televisi menanyangkan berita mengenai “Nazarudin”. Siapa dia ? Tentu kita semua mengenalnya. Ya..betul, dia adalah “tokoh kunci” dalam kasus dugaan suap proyek Wisma Atlet di Palembang. Konon, pengakuan Nazar akan meruntuhkan negara kita (karena dia mempunyai banyak “amunisi” untuk “menembak” orang-orang penting di negeri ini). Kita tunggu saja bagaimana akhir episode “Si Nazar”.

Tiba-tiba anak saya yang pertama, Ayu (10 tahun) “nyeletuk”, “Kok dari kemarin beritanya Nazarudin terus sih ! Memang Nazarudin itu siapa ?”. Saya diam, tidak menanggapi.…termasuk Istri saya..Biasanya Istri sayalah yang paling sabar menjawab pertanyaan dari anak-anak. Belum ada jawaban, tiba-tiba anak saya kembali bertanya “Korupsi itu apa sih ?”. Mendengar pertanyaan itu, Umminya memberikan jawaban, “Korupsi itu, mengambil sesuatu yang bukan haknya.” Lalu istri saya mencoba untuk menyederhakan pengertian korupsi dengan pemisalan. “Misalnya Ummi nyuruh Mbak Ayu belikan roti. Ummi kasih uang dua ribu, terus Mbak Ayu belikan roti harganya seribu. Ketika Ummi tanya berapa harga roti, Mbak Ayu jawab bahwa harga rotinya dua ribu. Nah itu berarti korupsi (mengambil hak orang lain dengan cara berbohong)”.

Lain hari saya mendapat SMS dari seseorang yang “melaporkan” mengenai keadaan tetangganya. Dia menyampaikan bahwa dia mempunyai seorang tetangga yatim piatu yang sangat baik dan suka menolong seorang ibu yang sedang sakit-sakitan. Anak yatim piatu ini hidup dari memulung barang-barang bekas. Namanya Ridwan. Dengan penghasilan yang tidak menentu, tentu kehidupannya serba kekurangan.

Suatu hari, dia pernah mendatangi sebuah masjid untuk mengadukan kesulitan hidupnya. Dari pengurus masjid menyambut baik dengan janji akan membantunya bahkan akan mensurvei ke lokasi. Namun hingga sudah lebih dari 1 tahun, tak kunjung muncul sang pengurus tersebut. Kekecewaannya semakin bertambah, manakala dia mengalami hal yang sungguh tidak mengenakkan bagi dirinya. Dia mendapatkan perlakuan kurang baik dari seseorang yang lebih mampu secara materi. Selain perlakuan yang kurang baik, kata-kata yang merendahkan harga dirinyapun meluncur deras dari mulut si kaya. Sontak, sakit hati diperlakukan, dihina dan dicaci maki demikian. Maka sejak saat itu dia trauma dan bertekad untuk tidak mau meminta kepada orang lain. Walaupun susah, tidak makan, tidak akan meminta kepada orang lain. Baginya lebih baik tidak makan, dari pada harus meminta pada orang lain. Kemuliannnya semakin bersemi, tatkala ada seorang ibu yang sakit-sakitan seorang diri tidak mampu mememenuhi kebutuhan hidupnya, dia dengan sigap menolongnya. Mulai dari kebutuhan sehari-hari (makan, minum dll), hingga keperluan berobat dia semua yang nanggung. Padahal dia bukan ibu, bukan juga saudara…namun karena kemanusiaannya, dia iklas menolong…tanpa pamrih…

Pengalaman saya ketika shalat tarawih di sebuah masjid di Batam sungguh mengganggu hati saya, yang pada akhirnya saya ingin menulis tentangnya. Apa itu ? Di masjid itu ada tulisan besar dekat penitipan barang “Mohon maaf. UPZ/Panitia Zakat Masjid …… tidak menerima proposal/permohonan dari luar Kecamatan ……”. Dalam hati saya bertanya, “Apakah benar Allah SWT melarang amil zakat menerima permohonan mustahik dari luar wilayah (kecamatan) ? Bukankah tugas amil itu memastikan bahwa zakat telah ditunaikan oleh muzaki dan diterima oleh mustahik ? Lalu kenapa kok dilarang ? Seolah-olah “Orang miskin dilarang minta (baca : mengambil) haknya.”

Sakit “Budaya Korup”

Nazarudin adalah orang yang dikenal “pintar”. “Kepintaran”nya itulah yang mengantarkan dia duduk sebagai Bendahara Umum parpol yang berkuasa saat ini. Dengan “kompetensi”nya dia bisa “memainkan” proyek negara. Uang negara bukan lagi untuk tujuan yang sebenarnya (Wisma Atlet)., tetapi lebih pada kekuasaan. Milyaran rupiah uang negara tidak sampai pada tujuannya. Namun “kepiawaian”nya tersebut ternyata, tidak mampu membawa dia dan negara ini menjadi lebih baik. Negara dirugikan, masyarakat dan orang-orang dekatnya juga terancam dirugikannya. Berbeda dengan Ridwan, walau tidak pintar (karena memang tidak sekolah), namun punya nurani yang mulia. Berusaha sendiri, tidak mengharap bantuan dari orang lain, bahkan ingin selalu membantu orang lain. Alhasil, hidupnya mandiri, tidak merugikan orang lain bahkan dengan menolong seorang ibu miskin dan sakit-sakitan, ia telah membantu mengatasi sebagian masalah kemiskinan bangsa ini.

Mengapa Nazarudin bisa demikian ? Pintar tapi merugikan ? Dan mengapa Ridwan bisa demikian ? Tidak pintar tapi menguntungkan ? Jawabannya karena “bekal pondasi” Nazarudin dan Ridwan berbeda. Nazarudin “bekal pondasi’nya tabiat sedangkan Ridwan “bekal pondasi”nya karakter. “Bekal pondasi” adalah suatu hal yang dilakukan sehari-hari lama-lama akan menjadi kebiasaan. Kebiasaan-kebiasaan akan menjadi perilaku. Perilaku yang buruk namanya tabiat, dan perilaku yang baik namanya karakter. Karakter adalah pondasi. Karakter menjaga harkat manusia agar perilakunya tidak lebih buruk dari hewan. Yang pintar tidak “ngakali”, yang kuat tidak semena-mena, yang kaya tidak makin tamak, yang paham tidak membodohi (Erie Sudewo : 2011).

Perilaku korup bangsa ini telah mendarah daging. Hal ini setidaknya ditunjukkan oleh hasil survey yang dilakukan oleh perusahaan konsultan “Political & Economic Risk Consultancy” (PERC) . Pada tahun 2008 Indonesia menduduki peringkat ketiga setelah Filipina dan Thailand. Pada tahun 2009 dan 2010, Indonesia menduduki peringkat pertama sebagai negara paling korup dari 16 negara Asia Pasifik yang menjadi tujuan investasi para pelaku bisnis (http://nusantaranews.wordpress.com). Perilaku yang sudah menjadi “tradisi” dari satu tampuk kekuasaaan ke tampuk kekuasaan lainnya, seakan-akan itulah “budaya” bangsa ini yang sesungguhnya. Jika kita mengenal Hadist Nabi SAW “Serahkan pada ahlinya”, maka Hadist tersebut tidak berlaku di Indonesia. Mengapa ? Karena jika diserahkan pada ahlinya justru akan dikorup (Erie Sudewo pada seminar Agustus 2011).

Sakit “Orang Miskin Dilarang Minta Haknya”
Perlakuan yang diterima Ridwan oleh pengurus masjid dan tulisan di sebuah masjid tersebut mempunyai kesamaan. Dua-duanya dilakukan oleh pengurus masjid. Kita tahu secara normatif, pengurus masjid adalah orang-orang “suci dan pilihan”, tidak banyak orang yang mau menjadi pengurus masjid karena amanahnya begitu berat. Pertanggungjawaban amanah di dunia dan di akhirat. Orang-orang yang “suci dan pilihan” tersebut harusnya tahu betul bagaimana mengurusi hak-hak “jamaah” termasuk didalamnya mengurusi hak-nya si miskin.
Fenomena lahirnya masjid-masjid megah, menjadi kebanggaan tersendiri. Sehingga masjid sebagai symbol pemersatu ummat. Namun maraknya masjid ternyata tidak diimbangi dengan suburnya kepekaan sosial dari pengurusnya. Ironis memang, ketika masjid sebagai symbol kejamaahan (mengelola dana ZIS), tempat dimana semua orang dapat mendapatkan pencerahan rohani, tempat ummat meminta perlindungan, tempat berlabuh semua orang akan segala persoalannya, termasuk si miskin. Ternyata dibalik mewah dan megahnya tembok dan mengkilatnya lantai masjid, pernak-pernik ornament dan kaligrafi yang indah, ada si miskin yang “dilarang” mengajukan/meminta hak-nya di masjid. Ditolaknya dengan alasan “bukan dalam satu wilayah”, seolah-olah hanya si miskin yang ada dalam wilayah tertentu saja yang berhak memperolehnya. Si miskin tidak mendapatkan pembelaan dari Masjid.

Perilaku ini jelas tidak sesuai dengan perintah Allah SWT, bahwa orang miskin berhak mendapatkan dana sosial (ZIS) tanpa dibatasi oleh territorial. Sebagiamana firman Allah SWT dalam QS At Taubah ayat 60 ”Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Perlahan tapi pasti, bila perilaku ini dibiarkan, lama-lama menjadi biasa dan menjadi darah daging budaya bangsa ini. Naudzubillah…

Obat Sakit Bangsa
Bagaimana mengatasi bangsa yang sakit ini ? Jawabnya sederhana. Ibarat membangun sebuah rumah, seberapa tingginya, seberapa besarnya, semua itu tergantung pondasinya. Semakin kuat pondasinya semakin kokoh bangungannya. Sehebat apapun bangsa ini, sepintar apapun, secanggih apapun, semaju apapun, semua itu ditentukan oleh pondasinya, yaitu karakter. Karakter dasar tersebut adalah tidak egois, jujur dan disiplin. Dengan karakter, apapun kompetensi yang dibangun diatas pondasi itu akan berdiri tegak dengan baik dan benar. Dengan karakter, orang berilmu akan tebar ilmunya. Dengan karakter, orang kaya tidak akan menikmati kekayaannya hanya untuk diri dan keluarganya saja. Dengan karakter, pejabat negara akan menyejahterakan rakyat. Dengan karakter, pengusaha pasti tidak akan serakah (Erie Sudewo : 2011).

Bulan Ramadhan adalah bulan “bakar-bakar”. Bulan membakar semua perilaku yang tidak baik. Bulan latihan untuk menahan hawa nafsu, bulan untuk mengendalikan sifat egois. Bulan kejujuran dan bulan latihan untuk disiplin.

Lihatlah, hanya pada Ramadhan saja kita bisa dilatih untuk tidak egois. Kita dianjurkan untuk memberi makan orang berbuka. Motivasinya karena pahalanya sama dengan orang yang berpuasa. Itu artinya kita harus peka terhadap kebutuhan orang lain, jangan hanya melihat diri kita saja. Egois dihilangkan.

Kita dilatih jujur. Bahwa ibadah puasa itu ibadah yang hanya Allah SWT yang akan membalasnya. Itu artinya hanya kita dan Allah sajalah yang tahu bahwa kita puasa atau tidak. Jujur pada diri sendiri. Tidak ada orang yang tahu apakah kita puasa atau tidak.
Dibulan inipun kita dilatih untuk disiplin. Bersegera dalam berbuka, dan mengakhirkan dalam sahur. Itu artinya kita dilatih untuk on time, disiplin kapan boleh berbuka dan disiplin kapan tidak boleh makan. Dengan disiplin hidup mudah diatur.

Latihan-latihan di Ramadhan ini, merupakan obat bagi bangsa ini untuk menyembuhkan penyakitnya. Mulailah kita pada Syawal ini untuk tidak egois, mulai untuk jujur pada diri sendiri dan mulailah untuk disiplin. Dengan memulainya tentu kita sudah menanamkan kebiasaan-kebiasaan yang baik. Yang pada akhirnya kebiasaan-kebiasaan ini akan melahirkan dan membentuk karakter di setiap nadi kehidupan kita.

Selamat Idul Fiitri 1 Syawal 1432H, mohon maaf lahir batin…Semoga Idul Fitri ini menjadi momen “sembuh”nya berbagai penyakit bangsa ini. Semoga bangsa ini menjadi bangsa yang sehat…


Batam, 27 Agustus 2011


Cahyo Budi Santoso
Dosen Fakultas Ekonomi UNRIKA
Branch Manager BMH KEPRI

2 komentar:

  1. Alhamdulillah saya dapatkan artikel2 yg bermanfaat. terima kasih pk Cahyo/

    BalasHapus
  2. Terimakasih...semoga bermanfaat dan memberi perubahan...

    BalasHapus