Kamis, 18 Agustus 2011

ZAKAT SEBAGAI INTEGRATED QUOTIENT

ZAKAT SEBAGAI INTEGRATED QUOTIENT
Oleh
Cahyo Budi Santoso *)

Setiap ibadah yang Allah perintahkan tentu punya tujuan. Tujuan puasa adalah agar kita menjadi orang yang bertakwa. Firman Allah SWT “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” (Al Baqarah : 183).

Jika kita artikan kata “takwa” menurut Sayyid Ali Khamenei mengatakan takwa artinya takut kepada Allah SWT yang disertai aktifitas atau mencegah diri dari segala larangan sembari mengerjakan segala perintahNya. Maka orang yang bertakwa adalah orang yang takut akan hukum Allah, dimanapun, kapanpun dan dalam keadaan bagaimanapun. Orang-orang yang takut kepada hukum Allah SWT memiliki ciri-ciri, yang dapat kita urai dari kata “takwa”.

Kata “takwa” terdiri dari 4 huruf Hijaiyah yaitu huruf “Ta” artinya Tawadlu (rendah hati), huruf “Qaf” artinya Qonaah (menerima apa adanya), huruf “Wau” artinya Waro’ (hati-hati), dan huruf “Ya” artinya “Yakin (percaya)”.
Dengan demikian, orang yang bertakwa senantiasa rendah hati, iklas menerima apa yang ia terima, selalu berhati-hati dalam setiap aktifitasnya, dan meyakini bahwa Allah SWT hanyalah satu-satunya tujuannya.

“Waro’” artinya berhati-hati dalam semua aspek kehidupan, dimana aspek kehidupan kita sebagai manusia meliputi bidang ekonomi (finansial), bidang kemanusiaan (sosial), bidang pendidikan (intelektual) dan bidang dakwah (spiritual).
Dalam bidang ekonomi, orang yang bertakwa adalah orang yang cerdas secara finansial. Cerdas finansial (financial quotient) berarti cerdas dalam mencari dan menggunakan finansialnya secara baik dan benar (halalan thoyiban). Baik dan benar dalam mencari finansial berarti memilih jenis pekerjaan dan cara memperoleh penghasilan tidak boleh yang melanggar syariat. Menjadi pegawai/karyawan adalah cerdas memilih/memiliki jenis pekerjaan yang baik, namun jika cara mendapatkan penghasilannya dilakukan dengan cara-cara yang melanggar syariat (korupsi) maka ia tidak cerdas finansial. Jika memiliki jenis pekerjaan yang baik dan cara memperoleh penghasilannya benar, kemudian dia juga harus cerdas dalam menggunakannya.

Cerdas dalam menggunakan finansialnya merupakan ciri orang yang bertakwa. Orang bertakwa mengetahui bahwa segala apa yang diperoleh, bukanlah miliknya. Ada hak orang lain. “Hai orang-orang yang beriman, belanjakanlah (di jalan Allah) sebagian dari rezki yang telah Kami berikan kepadamu, sebelum datang hari yang pada hari itu tidak ada lagi jual beli dan tidak ada lagi persahabatan yang akrab dan tidak ada lagi syafa'at. Dan orang-orang kafir itulah orang-orang yang zalim” (QS Al Baqarah:254). Dalam ayat 267-nya ”Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan dari padanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji”.

Menurut ayat diatas, “membelanjakan dijalan Allah” dapat dilakukan dalam berbagai macam bentuknya. Ada yang bersifat sukarela seperti berinfak, bersedekah, dan berwakaf. Ada yang sifatnya wajib, yaitu menunaikan zakat (baik zakat fitrah maupun zakat maal).
Esensi zakat adalah mendorong setiap pribadi manusia (individu) agar memiliki etos kerja/semangat dalam mencari penghasilan (berusaha) dengan cara yang baik dan benar. Dengan hasil kerja kerasnya (yang baik dan benar) dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan hasil kerjanya itu juga, digunakan untuk berbagi dengan yang lain. Berbagi dengan yang lain merupakan bentuk solidaritas sesama hamba (hablumminnas) juga sebagai bentuk kepatuhan hamba kepada Tuhannya (hablummninnas).

Integrated Quotient

Orang yang bertakwa adalah orang yang hati-hati dalam setiap langkah kehidupannya. Hati-hati terhadap apa yang akan dia kerjakan, hati-hati terhadap apa yang dia akan terima, dan hati-hati terhadap apa yang akan dibelanjakan. Karena semuanya akan dimintai pertanggungjawaban dihadapan Allah SWT. Dengan kehatian-hatiannya akan membawa kepada ketakwaan. Ketakwaan dalam berzakat memiliki implikasi baik bagi muzaki maupun bagi mustahik.
Menunaikan, mengelola dan menyalurkan zakat merupakan keterpaduan kecerdasan (integrated quotient). Dengan zakat mendorong seseorang menjadi pribadi yang cerdas financial (financial quotient). Dengan finansial yang ia punyai dapat ia gunakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Ketika kebutuhan hidupnya telah terpenuhi, ia dapat berbagi dan berempati dengan sesama. Mampu berbagi dan berempati dengan sesama menunjukkan bahwa ia memiliki kecerdasan sosial (social quotient).

Dengan finansialnya, dia juga dapat meningkatkan kualitas pengetahuannya, yang dapat ia lakukan dengan bersekolah, membeli buku, mengikuti training, seminar dan hal-hal lain-nya. Semua hal-hal tersebut tentu membutuhkan biaya. Bagi orang yang memiliki financial tentu bukan masalah. Dengan demikian ia telah mampu meningkatkan kecerdasan intelektual-nya (intelligence quotient).

Dan dengan kecerdasan intelektualnya (meningkatnya pengetahuannya), ia semakin menyadari bahwa semua yang ia peroleh adalah pemberian Allah SWT, semua yang ia punyai adalah bukan miliknya tapi milik Allah SWT. Kesadaran inilah yang disebut kecerdasan spiritual (spiritual quotient). Dan itulah puncak kecerdasan tertinggi.

Yang berzakat (muzaki) cerdas, yang menerima zakatpun (mustahik) semakin cerdas. Dengan berzakat berarti dia memiliki kecerdasan financial, kecerdasan sosial, kecerdasan intelektual dan kecerdasan spiritual. Dengan menerima zakat, mustahik diajak untuk cerdas secara financial, cerdas intelektualnya, cerdas sosialnya dan cerdas spiritualnya.
Dengan zakat, menjadikan kita cerdas finansial, cerdas social, cerdas intelektual dan cerdas spiritual.

Batam, 17 Agustus 2011

*) Branch Manager BMH Kepulauan Riau

Tidak ada komentar:

Posting Komentar